Beksan Bugis Gaya Yogyakarta

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800703
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Sejarah tari ”Beksan Bugis”diawali pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Patih Danureja V yang menciptakan karya tari monumental tersebut. Selain karya yang monumental, beksan ini juga merupakan sebuah tari yang lahir di tengah perangai sehari – hari para prajurit ini; dan merupakan tari tradisi Istana Yogyakarta yang menyajikan gambaran prajurit Bugis sedang berlatih perang. Di antara keteguhan ndalem Kepatihan, Beksan Bugis digarap penataan tari di bawah pimpinan seorang guru tari Keraton Yogyakarta, Raden Riyo Kertaatmadja yang tangkas menerjemahkan gagasan sang Danureja V dalam kerja kretif kesenian. Proses penggarapan Beksan Bugis menggelinding sebagai resiko kreativias kesenian. Saat dirasa layak tampil di istana, Danureja mempersembahkannya kepada keraton. Sinuhun Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII akhirnya pada saat itu memberikan legitimasi yang anggung kepada Beksan Bugis sebagai tari istana. Beksan Bugis memang tak jauh dari kehadiran suku bugis dari tanah Sulawesi. Para pelaut unggul itu mengarungi hamparan lautan merantau menuju ke Jawa, di antara mereka adalah prajurit kraton yang kemudian ditempatkan di kepatihan. Di sepanjang tarian bugis yang bergerak dinamis dengan undheng gilig di kepala itu tak bisa dilepaskan dari entrog, sebuah motif gerak khusus yang digunakan selain gerakan lain yang seperti ulap – ulap, pepincangan, tabikan, dhadhap dronjong. Beberapa motif gerak digunakannya itu di antaranya mendasari proses penciptaan beberapa motif gerak tari yang kerap digunakan dalam pegelaran wayang wong. Secara historis, hubungan politis Keraton- Kepatihan, Khususnya kepentingan kekuasaan keraton atas dunia luar, termasuk”investor-pembawa kapital”. Memiliki dinamikan dan citra pasang surut yang mewarnai perjalanan sejarah Kasultanan Yogyakarta. Utamanya, dalam yang berkaitan dengan hubungan diplomasi politik dengan pemerintah kolonial, baik Belanda maupun Inggris termasuk implikasi perekonomian dan penguasaan atas sumber produktivitas negara, khususnya penguasaan atas tanah. Peran dan fungsi Patih Dalem dalam ranah politik negara dan kekuasaan memang memiliki catatan dinamika yang menarik ditengah situasi zaman – zaman yang melingkupinya. Bahwa ternyata, di luar dinamika relasi politik, hubungan Keraton dan Kepatihan diwarnai pula relasi budaya yang dinamis dan saling melengkapi, yang di antaranya peran dan fungsi lahirnya beksan bugis, adalah kenyataan adanya sisi lain dalam sejarah kepatihan . meskipun Beksan Bugis sebagai ”produk kepatihan”tidak segegap” produk kepatihan lainnya, Langen Mandra Wanara, lahir dari tangan PA Yudanegara III, kemudian diangkat menjadi Patih Danurejo VII, kemudian bergelar KPH Cokrodingrat. Suatu masa sesudah lahirnya Beksan Bugis. Dalam hal Beksan Bugis, membawa beberapa penanda Kultural yang cukup penting, yaitu sebagai berikut. (01)Adanya peluang lanjut dialog antar dan lintas budaya yang sudah terjadipada pembentukan korps Prajurit Bugis yang menampung prajurit migran dari suku Bugis yang berkesejarahan panjang sejak zaman Mataram Pleret dan Kartasura; yang menurut keterangan, merekalah yang mula-mula membawakan tarian ini. (02)Adanya penyerapan unsur kuat budaya seni tradisi klasik kraton Yogyakarta, dengan tegus menyumbar pada prinsip ”tari sekawanan”, dan serapan dalam bentuk ragam tari gagah kakung, jenis bapang, yang kemudian diolah oleh ”tangan kepatihan” yang melahirkan ”varian baru bapang”, yaitu bapang kentrog; dan punya dampak memperkaya khazanah tari klasik Yogyakarta. (03)Pegelolahan unsur serapan dan temuan kreatif di luar istana, selain”model kentrog” pada bapang, juga ada sejumlah varian lain yang khas Beksan Bugis, melengkapi keunikannya seperti gerak pepinjalan, obah lambung, dan pacak gulu modot, yang ternyata kembali”berlaul” dengan pengolahan kreatif tari tradisi i kraton sehingga ” menular pada model gerak tarian pada peran kera dan cantrik. (04)Tari ini secara kontekstual memberikan gambaran tentang konsep perpaduan dua budaya berbeda, namun dapat disatukan dalam bingkai sajian berupa tari Bugis. Secara visual, tari Bugis masih tetap memiliki nuansa tradisi Jawa khas Kraton Yogyakarta. Namun dari sisi kedalaman tema, tari ini sebenarnya bukan berasal dari tradisi Jawa, melainkan dari etnis Bugis. Tipikal bapang ketrog merupakan ragam yang khusus. GBPH Suryobronto menyebut bahwa bapang kentrog untuk peran prajurit Bugis yang gagah dan kasar (1981:86). Ragam ini juga diinformasikan oleh RM. Suryobrongto, bahwa sejarah belanda, Th, B. Van Lelyveld telah menulis tahun 1931 tentang telah digubahnya sebanyak 21 tipe karakter dalam wayang wong gaya Yogyakarta. Dikutip oleh RM. Soedarsono nama – nama ”ragam tari”itu, dan urutan terakhir disebut adanya bapang kentrog (2000:21). Artinya, sebelum tahun 1931, tetapi sudah dalam masa Sultan HB VIII, ragam bapang kentrog telah dipergunakan dalam wayang wong. Sama maknanya bahwa kekuatan unsur yang ada dalam Beksan Bugis terus diperdialogkan dengan kekuatan unsur pada seni – seni tradisi klasik kraton, utama wayang wong, semenjak setelah 1899, tatkala Patih Danurejo V mengakhiri tugasnya sebagai Patih. Sepanjang pemerintahan Sultan HB VII hingga masa keemasan wayang wong di era Sultan HB VII, Beksan Bugis menarik perhatian. Bukti Bahwa interaksi antara kekuatan budaya di internal tradisi Kraton pun terus berlangsung intensif. Proses dialog budaya Kraton-Kepatihan sebagaimana terjadi pada Beksan Bugis, membuka ruang pemodelan pengembangan seni tari tradisi istana kepada masyarakat luas, sekaligus bisa menjadi penanda bahwa masyarakat luar istana juga memberi sumbangan penting pada keadiluhungan tradisi seni istana, sebagaimana juga terjadi ada wayang topeng hasil penggarapan yang dilakukan kridha Beksa Wirama, dimana wayang topeng itu berakar pada wayang topeng pedalangan di pedesaan. Disertasi Dr. Sumaryono, MA (2012) menyinggung pula pula proses wayang topeng pedesaan menuju adanya ”wayang topeng klasik”. Dalam teks dan konteks interaksi budaya semacam itullah Beksan Bugis menjadi ppunya makna terhadap pertumbuhan dan perkembangan seni tradisi klasik tari gaya Yogyakarta.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047