Basmerah (Nyambleh Sasih Kanem) Desa Taman Pohmanis

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800746
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Bali
Responsive image
Basmerah merupakan sebuah ritual yang rutin dilaksanakan setiap 365 hari (satu tahun sekali) oleh masyarakat di Desa Pekraman Taman Pohmanis Denpasar, tepatnya pada hari Kajeng Kliwon Sasih Kanem (sekitar bulan November-Desember). Ritual Basmerah ini oleh masyarakat setempat disebut juga dengan istilah Mecaru dan Nyambleh Sasih Kanem yang fungsi pelaksanaannya hampir sama dengan ritual Nangluk Merana pada umumnya di Bali, tetapi bentuk dan filosofinya memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut terlihat pada salah satu prosesinya yang melakukan proses nyambleh (memotong) leher kucit butuan (anak babi jantan) kemudian darahnya dioleskan pada dahi masyarakat sebagai gecek (tanda) telah mengikuti ritual ini. Kata Basmerah terdiri dari dua buah kata, yaitu Basme dalam bahasa Sansekerta berarti “segala sesuatu yang dihancur leburkan api atau abu”, kata basme dalam bahasa Jawa Kuna berarti “abu atau sejenenis urap yang diolaskan pada dahi sebagai penanda sekte (Zoetmulder, 1984: 124) dan kata rah dalam hal ini dikaitkan dengan darah. Berdasarkan penggalan kata tersebut jika digabungkan dan diamati konteksnya bahwa Basmerah dapat diartikan “darah yang dioleskan pada dahi sebagai penanda”. Sasih Kanem sebagai waktu pelaksanaan mengingat sasih-sasih tersebut sangat rawan dengan datangnya berbagai penyakit yang mengganggu manusia dan lingkungan. Lontar Bhama Kretih menyebutkan merana atau hama penyakit bersumber dari wisya (bisa/racun) yang dikeluarkan oleh Dewa Baruna sebagai penguasa lautan, yang disertai juga dengan pamirogha atau penyakit yang disebabkan oleh Ratu Gde Mecaling yang berstana di Muntig Nusa Penida dan akan menyerang melanda masyarakat setiap bulan posya (sasih kaenam) sampai bulan phalguna (sasih kasanga) (Basudewa, 2015: 82). Oleh sebab itu, pelaksanaan ritual Basmerah tersebut diharapkan mampu menetralisir penyakit yang menyerang ketika sasih-sasih tersebut. Desa Pekraman Taman Pohmanis jika ditinjau dari letaknya tepat berada di sudut Timur Laut Kota Denpasar yang merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung. Pendirian desa di perbatasan yang dulu bernama pamanis (sekarang Pohmanis) memiliki sejarah yang sangat panjang, diawali dengan penculikan tokoh bernama I Dewa Kalesan (I Dewa Karang) dibawa ke Denbukit ketika pemberontakan Kyai Gusti Agung Maruti di Puri Swecapura Gelgel, kemudian dibesarkan di Puri Bun dan dibuatkan puri dengan Abhiseka Ida I Dewa Gde Sukahet di Taak Batubulan oleh Kyai Gusti Ngurah Jambe Pule, dan sekitar tahun 1740an terjadi pemberontakan di Puri Taak Batubulan yang menyebabkan calon raja bernama Ida I Dewa Gde Rai terbunuh. Hal tersebut membuat Raja Badung, yaitu Kyai Gusti Ngurah Jambe Pule marah dan menyerahkan wilayah Batubulan ke Kerajaan Sukawati (sekarang Gianyar), serta beberapa putra-putra raja seperti I Dewa Nyoman Badung dan I Dewa Wayan Muntur pergi meninggalkan puri, dan diberikan tempat di perbatasan timur laut (tepi siring) kerajaan Badung untuk membangun wilayah baru bernama Pamanis. Wilayah ini merupakan perbatasan serta benteng Kerajaan Badung untuk menghadang insvansi Kerajaan Mengwi yang telah menguasai Bun dan Kerajaan Gianyar yang telah menguasai Batubulan Sukawati. Kepercayaan di Bali terkait dengan wilayah perbatasan dikenal dengan istilah panes yang dalam hal ini berarti tidak tentram dan selalu dilanda musibah. Hal tersebut menguatkan tafsiran bahwa dulu Desa Pekraman Taman Pohmanis keadaannya sangat mencekam jika ditinjau dari penamaan atau sebutan beberapa tempat di desa tersebut. Beberapa sebutan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. - Pohmanis, Menurut pengelingsir di Jero Agung Pohmais dan masyarakat sekitar konon Pohmanis tersebut berasal dari kata Pemanes yang berarti panas (kemungkinan keadaan desa yang panas), dan ada suatu penjelasan yang masuk akal yaitu konon masyarakat di desa tersebut ingin memberontak (memanes) ke wilayah Taak (Batubulan Gianyar sekarang) yang ketika itu telah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar. Keinginan memberontak tersebut disebabkan dulu sebelum wilayah Taak (Batubulan sekarang) dikuasai oleh Kerajaan Gianyar, masyarakat Desa Pohmanis-lah yang menempati wilayah tersebut dengan kekuasaan Kerajaan Badung pada masa lampau. Lambat laun dan diikuti dengan perkembangan zaman kata Pemanes tersebut berangsur berubah menjadi Pemanis hingga Pohmanis sampai sekarang. - Kalangan/Cucukan, Istilah ini ditujukan bentangan sawah yang menjadi pembatas antara Desa Taman Pohmanis Denpasar dengan Kabupaten Gianyar disebelah Timur dan Badung (dulu Mengwi) disebelah Utara. Kata Kalangan dalam bahasa Bali berarti arena dan Cucukan berarti saling tusuk. Dengan demikian, kata Kalangan dan Cucukan ini dapat dikaitkan dengan arena pertempuran/berperang. Hal tersebut sangat masuk akal, karena wilayah Desa Taman Pohmanis ini berada di ujung Timur Laut Kota Denpasar (Badung masa lampau). Babad Kesatria Sukahet menyebutkan bahwa I Dewa Gde Pande dan I Dewa Wayan Muntur bersama para wargi pengiring mendapat tugas dan diberikan kepercayaan oleh penguasa Badung ketika itu untuk membina, menjaga keamanan, dan mempertahankan wilayah timur laut dari: (1) Desakan atau serangan pasukan Laskar Sikep Gianyar dari timur, karena Batubulan sudah dikuasai oleh Kerajaan Gianyar. (2) Desakan dari utara, perluasan wilayah dari Kerajaan Mengwi ke selatan karena wilayah Bun, Sedang, Angantaka, dan Jagapati sudah menjadi kekuasaan Kerajaan Mengwi. (3) Kerajaan Badung ingin memekarkan wilayahnya, paling tidak untuk tetap menjaga wilayah kekuasaan (Kertha, dkk, 2001: 23). Bukti fisik mengenai wilayah perbatasan tersebut dapat dilihat pada sisi utara dan timur desa dengan adanya benteng pertahanan yang dibangun melintang mengelilingi desa oleh masyarakat pada masa lampau menggunakan susunan tanah yang tinggi disebut dengan Belumbangan. - Kata Gesangan, istilah ini ditujukan kepada sawah yang berada di barat maupun selatan desa. Istilah “gesangan” ini jika ditinjau berasal dari kata geseng yang berarti hangus terbakar. Geseng dalam pengertian sekarang berarti tandus dan kering yang kemungkinan wilayah tersebut sebelum menjadi persawahan dulunya digunakan sebagai tempat pembakaran dengan kondisi sangat tandus dan kering. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Desa Pekraman Taman Pohmanis pada masa lampau sangat tidak nyaman dan tidak tenang. Posisi desa yang berada diperbatasan tersebut sangat rawan diserang penyakit dan tidak aman dengan hal-hal yang bersifat negatif. Wilayah desa yang tidak nyaman membuat masyarakat berusaha untuk menjaga lingkungannya agar tetap tanang, makmur, dan sejahtera baik secara niskala maupun sekala. Secara niskala dijaga kelestariannya dengan ritual bhuta yadnya yang sering dilaksanakan dalam satu tahun sekali pada sasih kanem di parempatan/catus patha desa. Ritual bhuta yadnya tersebut dikenal dengan sebutan ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem yang serupa dengan ritual Nangluk Merana pada umumnya di Bali. Ritual ini sangat rutin dilaksanakan setiap tahunnya oleh masyarakat dan jika tidak dilaksanakan atau terlambat waktu pelaksanaannya maka keadaan desa menjadi menakutkan dan tidak aman (kebrebehan). Ritual ini dulu pernah tidak terlaksana karena sesuatu dan lain hal yang menyebabkan kebrebehan (beberapa masyarakat desa jatuh sakit sampai meninggal berturut-turut). Kejadian lainnya juga pernah terjadi ketika tengah malam yang sunyi ada suara-suara memanggil-manggil. Suara tersebut menyerupai suara salah satu keluarga yang kita kenal, tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut tidak ada siapa-siapa dan jika suara tersebut dijawab maka yang menjawab panggilan tersebut akan jatuh sakit hingga meninggal. Mengingat kejadian-kejadian tersebut, maka masyarakat desa selalu melaksanakan ritual tersebut secara berkelanjutan sehingga menjadi ritual turun temurun. 1. Bentuk Pelaksanaan Ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem di Desa Pekraman Taman Pohmanis Persiapan Tahapan ini berupa proses pembuatan sarana upakara dimulai dari dua hari sebelum pelaksanaan ritual tersebut. Biasanya dalam persiapan ini pengayah perempuan membuat perlengkapan upakara seperti banten dan kelengkapan lainnya, dan beberapa pengayah laki-laki mempersiapkan kelengkapan seperti pelinggih Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda serta tempat duduk pemangku ketika memimpin jalannya ritual di perempatan/catus patha desa. Puncak Ritual Tahapan ini dibagi menjadi beberapa raingkaian seperti: pemendakan Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda di Gedong Pesimpenan Bale Agung, persembahyangan bersama, pecaruan siap lima (panca warna) nangun urip, dan prosesi Basmerah yang akan dijelaskan sebagai berikut. a. Pemendakan Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda di Gedong Pesimpenan Bale Agung Prosesi ini dilaksanakan ketika segala persiapan ritual telah siap di perempatan/catus patha desa. Beberapa masyarakat dan pemangku melaksanakan prosesi Pemendakan Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda di Gedong Pesimpenan Bale Agung. Prosesi dilaksanakan dengan iringan suara gambelan, kulkul, dan nyanyian-nyaian suci menuju perempatan/catus patha desa. Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda sebagai simbol Tuhan Yang Maha Esa nyaksiang (sebagai saksi) posesi ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem di Desa Pekraman Taman Pohmanis. b.Persembahyangan Bersama Persembahyangan dilaksanakan ketika pemangku telah selesai menghaturkan upakara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Persembahyangan dilaksanakan sebanyak lima kali (panca sembah), serta ditambah dengan sembah nyaksiang caru dan sembah untuk ibu pertiwi. c.Pecaruan Siap Lima (panca warna) Nangun Urip Prosesi ini dilengkapi dengan sesajen berupa lima ekor ayam yang telah disembelih diletakkan pada masing-masih arah mata angin. Ayam hitam dengan urip 4 berada di arah utara, ayam putih dengan urip 5 di timur, ayam merah dengan urip 9 di selatan ayam kuning dengan urip 7 di barat, dan ayam berumbun (warna-warni) dengan urip 8 di tengah. Sesajan pecaruan ini dipersembahkan kepada Bhuta Kala, umumnya didominasi dengan sesajen yang berbau amis seperti jahe, tuak, arak, berem, dan bawang. Kelengkapan lainnya berupa sapu lidi dan tulud yang digunakan sebagai simbol pembersihan, serta kulkul sebagai pemanggil dan pengusir Bhuta Kala. Pecaruan ini bertujuan agar Bhuta Kala dapat menjadi Bhuta Hita yang sudah tidak mengganggu aktivitas manusia dan alamnya. d.Prosesi Basmerah Prosesi ini merupakan puncak dalam ritual ini, yaitu identik dengan nyambleh (nyembelih) kucit butuan (anak babi jantan) yang darahnya dioleskan pada setiap dahi masyarakat. Melalui tetesan darah ini lengkap sudah prosesi ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem ini dengan kelengkapan lima zat cair yang telah dipersembahkan, yaitu tuak simbul putih, arak simbul kuning, berem simbul hitam, darah simbul merah, dan campuran keempat warna tersebut disebut berumbun. Penutup atau Akhir Ritual a.Pecaruan di Masing-masing Pintu Masuk Rumah (lebuhan) Prosesi ini dilaksanakan oleh masih-masing masyarakat di setiap pintu masuk rumahnya. Upakara yang digunakan adalah berupa sanggah cucuk yang lengkap dengan tulung sayut, canang sari, sodan, daksina yang dihaturkan dengan segehan dan tetabuhan tuak, arak, dan berem. Pecaruan di perempatan/catus patha untuk lingkungan desa, sedangkan yang di lebuhan tersebut untuk masing-masing pekarangan rumah masyarkat. b.Prosesi Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda Nyatur Desa Nyatur desa yang dimaksud adalah Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda diiring oleh segenap masyarakat berkeliling desa (melancaran) diawali ke arah barat menuju kuburan, ke utara menuju Pohon Kepuh sebagai perbatasan desa, ke timur menuju tempat memohon kayu untuk Tapakan Barong pada masa lampau yang disebut dengan Alas Babian sekaligus sebagai perbatasan desa, ke selatan menuju perbatan desa, dan terakhir kembali ke tengah desa, yaitu Gedong Panyimpenan di Bale Agung. Prosesi ini merupakan akhir dari ritual, karena Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda Nyatur Desa sudah berkeliling untuk nangluk (membatasi) agar merana/penyakit tidak masuk ke desa. Selain itu, ketika melaksanakan prosesi Basmerah di perempatan/catus patha desa masyarakat juga sudah memiliki tanda darah di dahinya sebagai simbul telah mengikuti ritual dan tidak akan diganggu lagi oleh hal-hal yang bersifat negatif. 2.Fungsi Pelaksanaan Ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem di Desa Pekraman Taman Pohmanis a.Meningkatkan Sraddha Bhakti Masyarakat menganggap bahwa ritual ini memiliki nilai magis yang sangat tinggi, sehingga dalam pelaksanaannya seluruh umat masyarakat dengan rasa tulus ikhlas (lascarya) menyembahkan bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya dalam wujud Rudra sebagai pelebur dan perusak (merana). Bhakti identik dengan kasih, hormat, sujud, dan cinta. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem kualitas sraddha bhakti masyarakat Desa Pekraman Taman Pohmanis semakin lama semakin meningkat. b.Penetralisir Merana Ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem sebagai menetralisir merana, baik merana yang bersifat nyata maupun yang tidak nyata. Merana adalah istilah yang dipandang memiliki pengertian lebih dekat dengan jenis penyakit atau ancaman yang merusak atau menghancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya haruslah serasi, selaras, ataupun seimbang yang pada prinsipnya keserasian antara kedua aspek tersebut akan memberikan kesejahteraan lahir batin. Oleh sebab itu, masyarakat harus selalu menjaga dan memelihara keharmonisan kedua aspek (bhuana agung dan bhuana alit) dengan melaksanakan ritual bhuta yadnya. Ritual Basmerah sebagai penetralisir merana dapat dilihat ketika prosesi mengoleskan darah pada dahi sebagai tanda keharmonisan bhuwana alit serta prosesi Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda Nyatur Desa sebagai tanda pemberian pembatas atau menetralisir agar merana/penyakit tidak masuk desa untuk keharmonisan bhuwana agung. c.Menyomiakan Bhuta Kala Jika makrokosmos dan mikrokosmos ingin harmonis, maka salah satu jalannya adalah dengan melaksanakan ritual bhuta yadnya. Prosesi ritual bhuta yadnya salah satunya dengan ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem. Perlengkapan ritual biasanya dilengkapi dengan sapu lidi dan tulud yang berfungsi sebagai alat untuk membersihkan kotoran, sedangkan kulkul dan tetimpug (keplugan) sebagai sarana pengundang dan sekaligus pengusir bhuta kala. Upakara ritual ini juga dilengkapi dengan lima zat cair (tetabuhan) seperti tuak, arak, berem, air, dan darah yang mempunyai fungsi untuk persembahan kepada bhuta kala. Berdasarkan hal tersebut, ritual ini berfungsi untuk menyucikan alam semesta sekaligus menyomiakan (menenangkan) bhuta kala untuk menjadi bhuta hita. Pengertian bhuta hita adalah suatu kondisi dimana bhuta kala tidak lagi sebagai pengganggu kegiatan manusia karena sudah diberikan persembahan. d.Integrasi Sosial Bermasyarakat Ritual ini juga berfungsi sebagai integrasi sosial bermasyarakat dengan adanya suatu sistem ngayah (gotong royong) yang dilaksanakan malai dari persiapan hingga berakhirnya ritual. Ngayah merupakan bentuk kerjasama yang dilandasi oleh rasa tenggang rasa, cinta kasih, dan rasa saling memiliki. Bentuk-betuk gotong royong di atas dapat terlaksana jika masyarakat dalam keadaan rukun satu dengan yang lainnya. Kerukunan yang diwujudkan dalam bentuk gotong royong sangat mewarnai penyelenggaraan ritual ini. 3.Makna Pelaksanaan Ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem di Desa Pekraman Taman Pohmanis a.Makna Keharmonisan Keharmonisan dapat dilihat melalui Konsep Tri Hita Karana dalam implementasi ritual ini yang tercipta keharmonisan vertikal antara manusia dengan Tuhan, sedangkan horizontal antara manusia dengan sesama manusia dan sesama lingkungannya. Keharmonisan melalui hubungan manusia dengan Tuhan terlihat dari aktivitas ritual masyarakat (yadnya) yang dilaksanakan mulai dari tingkatan sederhana sampai ritual yang tergolong lebih besar seperti ritual Basmerah. Ritual yadnya seperti penjelasan di atas tentunya berbagai prosesi dilaksanakan seperti sembahyang, memohon air suci (nunas tirta), dan mebija merupakan salah satu proses hubungan harmonis antara umat manusia dengan Tuhan atau roh suci leluhur. Keharmonisan melalui hubungan antara manusia dengan sesamanya atau manusia dapat dilihat pada peran masyarakat mempersiapkan segala kelengkapan ritualnya dengan konsep ngayah yang dilaksanakan dengan gotong royong dalam upaya melancarkan tujuan ritual yang diharapkan. Keharmonisan melalui hubungan antara manusia dengan lingkungannya dilihat dari implementasi melaksanakan ritual yang serupa dengan Nangluk Merana untuk persembahan terhadap makhluk-makhluk lainnya di luar diri manusia dan sebagai pelestarian alam lingkungan. b.Makna Kesejahteraan Ritual Basmerah di Desa Pekraman Taman Pohmanis dianggap bagian dari ritual bhuta yadnya. Ritual tersebut bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya, menetralisir merana, dan menyomiakan bhuta kala serta makhluk-makhluk yang kedudukannya lebih rendah daripada manusia. Terwujudnya tujuan hidup mendapatkan dharma, artha, kama, dan moksa terlebih dahulu harus dilaksanakan bhuta hita yaitu berupa kesejahteraan alam dan lingkungan. Bhuta hita dilaksanakan melalui ritual bhuta yadnya berupa prosesi untuk menjaga keseimbangan alam sehingga tetap sejahtera. Ritual bhuta yadnya pada hakekatnya merawat lima usur alam yaitu air, tanah, api, udara, dan eter. Kelima unsur tersebut jika berfungsi dengan baik, akan lahir suatu kehidupan yang sejahtera. c.Makna Penyucian Kesucian merupakan dasar dari pelaksanaan suatu yadnya. Pelaksanaan ritual bhuta yadnya berupa ritual Basmerah Nyambleh Sasih Kanem ini memiliki makna penyucian terhadap Bhuana Agung dan Bhuana Alit yang sama-sama merupakan ciptaan Tuhan. Melalui penyucian ini nantinya akan muncul suatu kesejahteraan, kedamaian, dan keharmonisan di alam ini. d.Makna Penolak Bala Makna penolak bala dapat dilihat ketika prosesi Basmerah dilaksanakan dengan mengoleskan darah pada dahi sebagai tanda agar merana tidak mendekati masyarakat yang telah memiliki tanda tersebut. Prosesi Nyatur Desa yang dilaksanakan masyarakat dengan mengiringi Ida Bhatara Sasuhunan Tapakan Barong dan Rangda mengelilingi desa bertujuan memberikan simbol tangluk (pembatas) agar merana/penyakit tidak masuk ke desa.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047