Passureq

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800791
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Sejak berabad-abad lalu, suku Bugis mengenal 2 metode dalam melestarikan Kebudayaannya, yakni tradisi tulis (catatan yang dikenal dengan Lontara), dan tradisi lisan (Massureq, membacakan Lontara dengan cara melagu dan tidak menggunakan musik). Massureq adalah salah satu Mahakarya Indonesia yang sangat vital dalam penyebaran ajaran-ajaran orang Bugis dulu yang tercatat dalam naskah Lontara. Mulanya penyelenggaraan pertunjukan tradisi lisan massureq dijadikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat daerah Wajo sejak dahulu. Pelaksanaan kegiatan massureq sebenarnya tidak memerlukan usaha yang besar, karena untuk membacanya, hanya memerlukan sureq itu sendiri, penyangga untuk alat bantu membaca, serta pakaian tradisional untuk mendukung nuansa tradisionalnya. Manakala ada acara massureq, orang beramai-ramai mengunjungi keramaian itu karena tertarik mendengar lagoq (nada, irama) passureq membacakan sureq yang ditampilkan pada waktu itu. Orang-orang tua, anak-anak, terlebih pada pemuda dan pemudi tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dalam kondisi seperti itu tradisi massureq berperan sebagai sarana jumpa sehingga momentum itu dapat digunakan untuk menggalang massa. Lewat massureq kita dapat memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi mempunyai kesempatan seperti itu dapat digunakannya untuk memperluas pergaulan. Lebih dari itu dapat pula digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup. Massureq adalah satu dari tiga kompenen inti yang sering digunakan dalam berbagai upacara suci dan sakral. Massureq bisa dijumpai saat, Mappano Bine (upacara menidurkan benih padi), Maccera’ Tasi’ (persembahan untuk laut), Menre’ Bola (naik rumah baru), Mattemu Taung (menziarahi kuburan leluhur), dan masih banyak lainnya. Upacara-upacara suci dan sakral tersebut selalu dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yakni: Bissu atau pendeta Bugis yang memiliki tugas memimpin upacara ritual, Sanro yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara. serta Passureq, pembaca dan penembang lontara Bugis. Berdasarkan catatan Roger Tol – 1987, dalam The Heroic Fall of Bone, saat membacakan atau Massureq Lontara La Galigo, selalu akan diadakan sebuah ritual dan persembahan yang sakral. Sebelum lontara tersebut dibacakan, harus ada persembahan sajian, dupa serta pemotongan ayam atau kambing (1990:10). Pada tahun tahun 1951- 1965 saat gerakan Tentara Islam Indonesia atau DI/TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, praktik-praktik kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam saat itu dibumi hanguskan. Peran para komponen penjaga Sureq La Galigo seperti Bissu, Sanro dan Passureq pun perlahan memudar karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Pada tahun 1960, Abdul Kahar Muzakkar (44 tahun) yang saat itu menjadi komandan gerakan DI/TII di Sulawesi dinyatakan ditembak mati olehpasukan TNI dalam operasi Tumpas di Lasolo. Kabar kematian komandan gerakan itu pun menyebar hingga mengakibatkan gerakan-gerakan Tentara Islam Indonesia berlahan hilang. Praktik-praktir ritual kebudayaan yang dulunya dianggap menyimpang dari syariat Islam pun berlahan kembali bermunculan.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047