Gutel

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900821
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Aceh
Responsive image

Suku bangsa Gayo adalah salah satu suku di Aceh yang memiliki keanekaragaman kuliner yang berbeda dengan suku-suku Aceh lainnya. Suku ini terbagi atas beberapa sub-etnis dan mendiami beberapa kabupaten di Provinsi Aceh. penduduknya tersebar di kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, wilayah Lokop di Aceh Timur, dan sebagian kecil wilayah di Aceh Tamiang.

Secara geografis, wilayah Gayo merupakan daerah dataran tinggi dan beriklim sejuk. Daerah ini sangat subur dan cocok sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Hal ini membuat mayoritas masyarakat Gayo memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan bertani di sawah (berume) dan berkebun atau berladang (perempusen) yang didominasi kopi, kemiri, coklat, jagung, cabai, tomat dan lain-lain. Selain itu, masyarakat yang menempati wilayah ini memiliki mata pencaharian berburu (mukaro) yang pernah mendapat tempat penting dalam kehidupan masyarakat dan bernelayan (begule) di sungai atau danau. Faktor mata pencaharian ini kiranya mempengaruhi keanekaragaman makanan tradisional Gayo, selain faktor potensi alam yang disebutkan di atas.

 Setidaknya ada tiga konsep makanan tradisional suku bangsa Gayo.  Pertama, makanan tradisional Gayo memiliki waktu pembuatan yang singkat dikarenakan masyarakat Gayo lebih menghabiskan waktu sepanjang hari beraktivitas di luar rumah. Mereka hanya memiliki waktu yang sedikit dalam mengolah makanan untuk di konsumsi. Oleh karena itu, mereka harus seefisien mungkin memanfaatkan waktu yang ada untuk mengolah makanannya. Kedua, bahan baku yang digunakan tidak banyak.  Berbeda dengan masyarakat Aceh pesisir yang kulinernya menggunakan banyak bahan baku dengan beraneka ragam bumbu, kuliner Gayo hanya memanfaatkan sedikit bahan yang ada di lingkungannya agar waktu yang dihabiskan untuk memasak tidak begitu lama. Ketiga, memiliki rasa yang enak. Dua dasar yang terdapat sebelumnya tidak serta merta membuat makanan Gayo “miskin” akan rasa. Pemanfaatan dan perpaduan bahan makanan yang tepat membuat kuliner tradisional Gayo penuh akan citarasa. Pun begitu, saat momen-momen tertentu, semisal hajatan pernikahan atau turun mandi (sinte murip) maupun hajatan duka kematian (sinte mate) kuliner masyarakat Gayo lebih kaya bahan baku dan lebih banyak ragam.

 

Gutel, Penganan Khas Dataran Tinggi Gayo

Gutel adalah salah satu kudapan tradisional dari Tanoh Gayo. Bahan baku pembuatan Gutel antara lain: beras (oros), kelapa (keramil), garam (poa), dan air (wih). Kudapan berbentuk lonjong ini dibuat dengan cara yang sederhana. Gutel dibuat dengan merendam beras, kemudian beras itu ditumbuk sekalian dengan daging kelapa dan garam serta diberikan sedikit air kelapa (bisa juga menggunakan air). Atas alasan praktis, sekarang sudah banyak orang yang menggunakan tepung beras dan kelapa kukur lalu dicampur garam, gula (biasanya gula pasir atau aren) dan air. Setelah semua bahan dicampurkan, adonan kemudian dikepal. Selanjutnya digulung dengan daun pandan sebagai pewangi dan tiap gulungan diisi dengan dua buah gutel. Gutel dikukus sebentar lalu siap disajikan.

Gutel dapat memberikan efek kenyang yang lama. Makanan ini tentu sangat cocok dikonsumsi di wilayah dingin yang membuat orang cepat lapar seperti di dataran tinggi Gayo. Di sana, Gutel digunakan sebagai penganan khas pada saat musim bersawah. Karena makanan tahan lama yang bertahan hingga 1 bulan, siap saji dan mudah dibawa, Gutel kerap sebagai bekal perjalanan jauh ke tengah hutan untuk keperluan membuka lahan perkebunan (muger), berburu (ngaro), mencari kayu candan (cendana), rotan, madu dan hasil hutan lainnya yang butuh waktu hingga beberapa hari. Masyarakat memakan gutel sebagai pengganjal lapar hingga tiba waktunya nanti makan nasi.

Pada masa orang Gayo belum mengenal kenderaan bermotor, mereka yang melakukan perjalanan ke pesisir atau ke tempat lain yang melintasi hutan juga dibekali Gutel. Termasuk saat berperang gerilya melawan penjajah Belanda dan Jepang, gerilyawan seperti Aman Dimot yang berperang menghalau tentara Belanda di Kaban Jahe Sumatera Utara dibekali gutel berkaleng-kaleng. Juga ketika  pemberontakan DI/TII terjadi di Aceh, pasukan yang dipimpin Tgk. Ilyas Leube yang bergerilya keluar masuk hutan kerap dibekali Gutel oleh keluarga dan warga kampung yang dilintasi dengan memberikan Gutel.

Gutel seperti halnya kudapan khas Gayo lainnya Lepat, menjadi barang paling berharga di medan perjuangan, bukan hanya karena penyangga lapar tapi ada jawaban kerinduan terhadap keluarga dekat. Bekas kepalan tangan sang pembuat terutama ibu, istri dan kerabat perempuan lainnya membuat hati sang anak terbakar kerinduan ingin pulang.    

Saat ini Gutel masih dihidangkan sebagai makanan di berbagai kesempatan, baik di upacara adat maupun di acara yang bersifat keagamaan. Rasanya yang nikmat menjadikan Gutel kudapan yang pas untuk menemani saat minum kopi. Tidak heran jika Gutel banyak ditemukan tersaji di warung dan cafe-cafe penyedia kopi Gayo. Untuk menjaga eksistensi makanan ini, Di acara-acara tertentu di Pemerintahan Gutel dihidangkan untuk para tamu dan peserta. Banyak juga bermunculan di media sosial promosi penjualan kudapan Gayo termasuk Gutel Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Sebagai makanan tradisional suku bangsa Gayo, Gutel memiliki nilai-nilai filosofis di balik kehadirannya di kehidupan sehari-hari. Makanan ini melambangkan nilai kasih sayang dari pembuatnya, ditunjukkan dari cara pembuatannya yaitu ikemul (digumpalkan dengan tangan sekuat-kuatnya).

Nilai semangat juga terkandung dalam makanan ini. Gutel menjadi energi tersendiri bagi yang mengonsumsi, karena Gutel adalah bentuk dukungan dari yang mempersiapkan bekal agar yang memakan bersemangat dalam beraktivitas sehari-hari. Terakhir, Gutel memiliki nilai-nilai perjuangan, hal ini terbukti karena gutel adalah bekal para pejuang dalam berperang memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air.

Seiring waktu, Gutel mulai kurang diminati oleh generasi muda. Kalangan ini lebih  memilih mengonsumsi makanan luar yang lebih populer tetapi belum tentu sehat.  Ada anggapan bahwa Gutel adalah makanan orang pada zaman dahulu dan tidak lagi sesuai dengan mereka yang hidup di dunia modern. Oleh karena itu, kepedulian masyarakat Gayo sangat dibutuhkan dalam menjaga eksistensi makanan  ini dengan terus memperkenalkan Gutel beserta nilai-nilai yang terdapat di dalamnya di setiap kesempatan.

Gutel sesungguhnya adalah warisan indatu urang Gayo kepada generasi selanjutnya. Mereka mewariskan pengetahuan tradisional dalam mengolah apa yang ada di sekitar menjadi makanan yang sesuai dengan kondisi tempat tinggal dan aktivitas masyarakatnya. Sudah seharusnya Gutel terus dilestarikan, karena bila tidak, ia akan hilang membawa serta nilai dah kisah yang terdapat di dalamnya.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

Komunitas Karya Budaya

Jusin Saleh

Desa Bujang, Kabupaten Aceh Tengah

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

Maestro Karya Budaya

Jusin Saleh

Desa Bujang, Kabupaten Aceh Tengah

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047