Tarian ini sebenarnya merupakan perkembangan dari tari rakyat, yaitu tledek atau tayub, di mana nama Gambyong sendiri berasak dari nama seorang penari dan sinden yang sangat terkenal pada abad ke-19. Karena keluwesan dan kemerduan suaranya, Sri Gambyong kemudian diundang ke Keraton Surakarta, dan tariannya pun perlahan dibakukan menjadi tarian klasik yang ditampilkan juga di Keraton Surakarta.
Tari Gambyong Pareanom yang klasik merupakan pembakuan tari Gambyong yang dilakukan oleh Nyi Bei Mintararas dari Keraton Mangkunegaran, Solo, pada tahun 1950.
Dalam perkembangannya tari gambyong diperhalus dengan mendasar pada kaidah kaidah tari kraton. Tari Gambyong inilah yang berkembang sampai sekarang. Sejak munculnya koreografi tari gambyong Pareanom pada tahun 1950 sampai tahun 1993 tari gambyong mengalami perubahan fungsi dari tontonan atau hiburan menjadi berfungsi sebagai penyambutan tamu, perubahan fungsi ini diikuti dengan perubahan bentuk sajian peningkatan frekwensi penyajian, jumlah koreografi,dan jumlah penari. Perkembangan tari gambyong ini juga diikuti perubahan bentuk estetesisnya, yang mengungkapkan keluwesan kelembutan dan kelincahan seorang perempuan yang didukung oleh keharmonisasn dan keselatasan antara gerakdan ritme , hususnya gerak dan irama kendang yang khas.
Tari Gambyong Pareanom gaya Mangkunegaran berbeda dengan Tari Gambyong Pareanom di luar tembok Pura Mangkunegaran, baik kostum dan gerakannya. Kostum tari Gambyong Pareanom di Pura Mangkunegaran memakai kain wiron, mekak, sampur dan jamang, untuk mekak warna hijau dan sampur warna kuning (Hijau Kuning). Untuk kostum untuk tari Gambyong Pareanom di luar tembok Pura Mangkunegaran memakai kain wiron, kemben , sampur dan bersanggul dan warna bebas.
Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 02-12-2020
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya