Maudu Lompoa

Tahun
2010
Nomor. Registrasi
2010000345
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Maudu Lompoa merupakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar secara besar-besaran oleh masyarakat Cikoang, Kabupaten Takalar. Maudu Lompoa digelar setiap tahunnya bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yakni 12 Rabiul Awwal berdasarkan penanggalan hijriah. Dalam prosesinya, Maudu Lompoa ini merupakan perpaduan antara unsur atraksi budaya dengan ritual-ritual keagamaan. Perayaan yang dimulai sejak tahun 1621 ini erat kaitannya dengan kehadiran seorang ulama Aceh bernama Sayyid Jalaluddin, yang telah berjasa mengembangkan ajaran Islam di Cikoang. Ia adalah keturunan Arab Hadramaut Arab Selatan dan masih terhitung sebagai keturunan anak cucu Nabi Muhammad SAW yang ke-27. Ia menikah dengan seorang putri bangsawan Makassar dari kerajaan Gowa bernama I Acara Daeng Tamami dan menetap di Cikoang. Kedatangan Sayyid Jalaluddin kemudian menjadi cikal bakal munculnya keturunan-keturunan sayyid di Cikoang Dalam kehidupan masyarakat Cikoang, keturunan sayyid ini memiliki pengaruh yang kuat, baik dalam bidang pemerintahan maupun keagamaan. Sehingga, dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, masyarakat Cikoang merayakannya secara besar-besaran dengan berbagai prosesi acara, seperti arak-arakan julung-julung (replika kapal) yang berisi hidangan khas berupa nasi pamatara (setengah matang) dan lauk yang menunya didominasi ayam kampung dan telur warna-warni yang penuh hiasan bunga kertas dan male (guntingan kertas minyak yang menyerupai tubuh manusia), mukena, kain khas Sulawesi serta aksesoris lainnya. Pelaksanaan perayaan Maudu Lompoa memerlukan persiapan 40 hari sebelum acara puncak. Persiapan diawali dengan je?ne-je?ne Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat Cikoang yang dipimpin sesepuh atau guru adat. Selanjutnya, mempersiapkan ayam kampung yang akan dihidangkan pada puncak acara, yang harus dikurung selama 40 hari di tempat bersih dan diberi makan beras bagus. Pada saat yang sama, masyarakat juga mulai melakukan prosesi ?angnganang baku? yaitu membuat bakul sesaji dari daun lontar. Selanjutnya, masyarakat menjemur padi dalam lingkaran pagar, dilanjutkan a?dengka ase, yakni menumbuk padi dengan lesung. Setelah itu, warga setempat mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri (ammisa? kalulu). epat dua hari sebelum hari H, masyarakat yang akan mengikuti Maudu Lompoa melakukan acara pemotongan ayam kampung dan menghias telur. Sementara ibu rumah tangga dan dibantu anak-anaknya, memasak nasi pamatara beserta lauknya, yakni ayam goreng dan berbagai rupa kue tradisional dengan menggunakan kayu bakar. Memasak dilakukan di dalam ra?bang (kolong rumah panggung) dan tidak boleh keluar pagar. Perempuan harus memakai sarung dalam keadaan bersih dan mengambil air wudhu sebelum memasak. Beras yang dimasak pun sebelumnya harus dicuci tujuh kali dan air cuciannya ditampung dalam lubang yang sengaja dibuat dalam ra?bang. Isi bakul disesuaikan jumlah keluarga tiap rumah. Setiap satu orang harus dipotongkan satu ayam dan dimasakkan satu gantang (empat liter) beras. Sedangkan jumlah telur hias disesuaikan dengan kemampuan masing-masing keluarga. Minimal berjumlah 20 butir. Selanjutnya, bakul berisi hidangan itu dikumpulkan pada julung-julung, kemudian diarak menuju pinggir Sungai Cikoang. Isi julung-julung ini kemudian diperebutkan para warga, sementara julung-julung diarak kembali sesuai dengan tradisi. Bagi masyarakat Cikoang, perayaan Maudu Lompoa ini sarat makna. Bakul anyaman yang dibuat dari lontar, menggambarkan bahwa tubuh manusia teranyam oleh lebih 4.000 syaraf. Empat liter beras, selain melambangkan syariat Islam, juga melambangkan empat unsur dari manusia, yakni tanah, air, api, dan angin). Ayam kampung yang dipelihara selama 40 hari adalah sebuah pembelajaran akan waktu. Selain itu, ayam kampung juga dikenal sebagai hewan yang ulet. Kelapa yang memiliki tujuh lapis kulit melambangkan hakikat mata hati. Telur berarti keyakinan (makrifat) dan perahu diibaratkan kendaraan menuju bahtera berkah. Kain bagai tempat bernaung saat manusia berada di padang mahsyar nanti. Khusus kain yang digunakan sebagai umbul-umbul pada perahu kayu yang berukuran besar yang dikenal dengan nama lambere japing-japing atau perahu nelayan yang berukuran kecil yang disebut jolloro, biasanya adalah kain sarung atau kain yang bisa dijadikan baju. Mengenai pemilihan warna dan kualitasnya tergantung selera dan kemampuan masing-masing.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Pelaku Pencatatan

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

Pelapor Karya Budaya

Keluarga Besar Sayyid Jalaluddin Al-Aidid

Desa Cikoang, Kec. Mangaraqbombang, Kab. Takalar, Sulsel

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047