Bambu Gila

Tahun
2010
Nomor. Registrasi
2010000067
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Maluku
Responsive image
. Bambu Gila adalah atraksi tradisional masyarakat Kepulauan Maluku. Kesenian yang juga dikenal dengan nama Buluh Gila dan Bara Suwen ini terdapat di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Di Provinsi Maluku, atraksi bernuansa magis tersebut dapat dijumpai di dua desa, yaitu Desa Liang, Kecamatan Salahatu dan Desa Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Sementara di Provinsi Maluku Utara, permainan yang tergolong gaib ini terdapat di beberapa daerah di Kota Ternate dan sekitarnya. Belum ditemukan data dan sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya mengenai asal-usul atraksi Bambu Gila. Kendati demikian, atraksi ini diyakini telah ada di Kepulauan Rempah itu sebelum agama Kristen dan agama Islam masuk ke daerah tersebut. Awal sejarahnya berasal dari hutan bambu terletak di kaki Gunung Berapi Gamalama, Ternate, Maluku Utara. Sejumlah pemuda semula mencari bambu di kawasan ini untuk mengadakan permainan bambu gila. Sengatan matahari dan tajamnya sisi batu yang menghitam, bukan penghalang langkah mereka. Tetap bersemangat mencari sebatang bambu, yang bisa memberi hiburan bagi rakyat sekampung. Sesampai di rumpun bambu, mereka tak lupa meminta izin dari sang pemilik, agar merelakan sebatang bambunya. Sebelum pertunjukan dimulai, terlebih dahulu disiapkan bambu berwarna cokelat atau bambu suanggi yang memiliki panjang sekitar 2,5 meter dengan diameter sekitar delapan sentimeter. Bambu dipotong menjadi tujuh ruas, di mana tiap-tiap potongan ruasnya dipegang oleh seorang pemain. Lalu, bambu tersebut diletakkan di dada masing-masing pemain. Perlengkapan lain untuk permainan yang tergolong gaib ini adalah kemenyan (styrax benzoin) atau jahe (zingiber officinale). Kemeyan biasanya digunakan untuk pertunjukkan bambu gila yang tergolong besar, sedangkan jahe untuk pertunjukan Bambu Gila yang tergolong kecil. Pemain Bambu Gila terdiri dari tujuh orang pemuda atau laki-laki dewasa yang didampingi oleh seseorang yang bertindak sebagai pawang. Selain berbadan sehat dan kuat untuk melakukan permainan, tidak ada syarat lain bagi para pemain Bambu Gila. Hanya saja, selama pertunjukan berlangsung, para pemain dilarang memakai perhiasan atau menggunakan barang yang berbahan logam, seperti gelang, cincin, kalung, dan bahkan gigi palsu yang terbuat dari logam. Setelah semua keperluan permainan disiapkan, kemenyan dibakar di atas tempurung kelapa sambil membaca mantera. Asap dari kemenyan tersebut digunakan untuk melumuri ruas bambu satu-persatu. Sedangkan jika menggunakan media jahe, maka jahe diiris sebanyak tujuh irisan. Ketika membaca mantera, tujuh irisan jahe tersebut dikunyah oleh pawang dan lalu disemburkan ke setiap ruas bambu. Kemenyan dan jahe memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memanggil jin-jin atau roh-roh leluhur agar memberi kekuatan magis pada bambu. Setelah segala perlengkapan dan persyaratan dipenuhi, pawang beserta tujuh pemain Bambu Gila memasuki arena pertunjukan. Atraksi diawali dengan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa supaya pertunjukan berjalan dengan lancar dan para pemain diberi keselamatan. Kemudian, sambil membakar kemenyan atau mengunyah irisan jahe, sang pawang membaca mantera-mantera atau jampi-jampi dalam bahasa Tanah, salah satu bahasa tradisional yang terdapat di Pulau Maluku. Sambil membaca mantera, sang pawang akan melumuri ruas bambu dengan asap kemenyan atau menyemburkan irisan jahe. Hal tersebut dilakukannya berulang kali dari ruas bambu pertama hingga ruas bambu terakhir. Sehabis memanterai bambu, pawang kemudian berteriak ?Gila, gila, gila?, atraksi Bambu Gila pun dimulai. Tubuh para pemain akan terombang-ambing ke sana-ke mari, dan bahkan kadangkala sampai jatuh bangun, akibat mengendalikan gerak liar Bambu Gila. Permainan kian meriah seiring terdengarnya suara Tifa, tambur tradisional Maluku, yang dipukul para pemuda dengan penuh semangat dengan irama tertentu. Suasana bertambah semarak dengan iringan tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Atraksi Bambu Gila akan berakhir dengan jatuh pingsannya para pemain di arena pertunjukan. Uniknya, meski pertunjukan sudah selesai, kekuatan gaib bambu tersebut tidak serta merta hilang begitu saja sebelum diberi makan api yang terbuat dari kertas yang dibakar. Pawang bambu itu, KRT Ruspudio Dipuro berasal dari Jogyakarta. Pria ini pernah mempelajari bambu gila ketika berada di Ternate. Menurutnya, keahlian ini tidak bisa diajarkan kepada orang yang tidak sedarah. Dulunya kepiawaian seorang pawang dalam pertunjukan Bara Masuwen, digunakan untuk menghadapi musuh dalam peperangan. Tetapi berkat keuletan KRT Ruspudio ilmu itu bisa dipelajari dan digelar di luar Ternate. Para penguasa Kesultanan Ternate sebelumnya juga sering memanfaatkan pawang Bara Masuwen untuk membawa perahu yang sudah dibuat di gunung, ke pinggir pantai. Zaman sekarang, selain untuk pertunjukan, ilmu Bara Masuwen ini sering digunakan untuk membantu memindahkan kapal yang kandas. Bara Masuwen adalah bagian pertunjukan hiburan ala kampung yang masih mendapat perhatian di Ternate. Sebuah keahlian dari dunia ghaib, yang dijadikan hiburan bagi masyarakat negeri pulau ini. Hiburan ini juga menyeberangi laut dan dipopulerkan oleh KRT Ruspudio seorang abdi dalem dari Kraton Surakarta, meski bertempat tinggal di Kotagede Jogyakarta. Kekuatan tarian bambu gila ini bukan main. Kalau tidak dijaga oleh beberapa pembantu pawang para pembawa bambu gila ini bisa dibuat puyeng. Selama hampir tiga puluh menit, enam pembawa bambu gila ini diajak mengitari lapangan seluas 50 meter persegi. Ayunan yang mengikuti irama gamelan, awalnya pelan. Tetapi kemudian menjadi kian keras sehingga membuat mereka yang memegangnya kewalahan mempertahankan posisi pegangannya. Di akhir pertunjukan bambu yang tadinya dibawa seorang saja kuat, ketika dilepaskan bagai besi berton-ton beratnya, sehingga sang pawang tak kuasa membawanya, sehingga terlihat sempoyongan untuk menahan bambu yang telah diletakkan di tanah. Dan uniknya meski sudah selesai daya ghaib dari bambu itu tidak mau lepas kalau tidak diberi makan api. Oleh karena itu dibuatlah api dari kertas yang dibakar. Dan sang pawang pun melahap api dengan telapak tangannya tanpa dilambari pengaman. Dan sirnalah isi bambu itu dan kemudian sang pawang lemas kelelahan.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Pelaku Pencatatan

Aswad Arif

Soa Kolaba - Maluku

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

Pelapor Karya Budaya

Masyarakat Desa Liang

Kecamatan Salahatu Kabupaten Maluku Tengah

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047