Mbitoro

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201901083
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Papua
Responsive image

Menurut orang Kamoro Mbitoro adalah merupakan induk dasar dari semua jenis ukiran yang dibuat oleh mereka dalam berbagai variasi, hal ini sesuai dengan sejarah asal usul patung Mbitoro, dimana pengetahuan mengukir diperoleh sejak nenek moyang mereka menemukan dan mengambil Mbitoro dari dasar laut / sungai.

Patung Mbitoro adalah spesimen paling spektakuler dari seni orang Kamoro, yang dibuat dari batang dan akar pohon bakau (satu pohon utuh. Setelah pohon itu ditebang dan dahan-dahan dilepas, semua kecuali satu dari akar penopang dipotong dan yang tersisa diukir. Sedangkan bagian batang pohon itu sendiri dilubangi dan satu atau lebih figur manusia dipahat. Hasil pahatan itu kemudian ketika dipajang di depan karapau dalam keadaan terbalik yaitu bagian akar pohon terletak di bagian atas dan bagian ujung / atas / pucuk pohon di bagian bawah (seperti patung Mbis suku Asmat) (S.Kooijman1984; 1.)

Berdasarkan hasil studi pustaka pada beberapa referensi penelitian sebelumnya  oleh J. Pouwer pada tahun 1954 dalam tulisannya “Geschiedsbeschouwing van de bewoners Kamora – Vlakte, Onderafdeling Mimika”,                  S. Kooijman pada tahun 1955 dengan tulisannya “De Kuns van New Guinea” serta tahun 1984 dalam bukunya yang berjudul “Art, Art Objects an Ritual In The Mimika Culture dan laporan penelitian “Tari dan Musik Tradisional Orang Kamoro” oleh Enos H. Rumansara dan kawan-kawan dari Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih, terdapat beberapa versi cerita tentang asal mula patung Mbitoro dan Karapau. Hal inipun telah di konfirmasi oleh tim ketika pengambilan data dan proses perekaman di lapangan, maka berikut ini adalah cerita asal mula patung Mbitoro dan Karapau dari versi yang paling banyak di ceritakan; 

“Pada jaman dahulu kala terdapat sekelompok orang Kamoro yang tinggal dibagian hulu sungai Minar yang membatasi wilayah Kamoro dengan Asmat. Pada suatu hari ada beberapa orang laki-laki yang pergi ke hulu sungai Minar untuk mengambil daun sagu sebagai atap rumah. Dalam sekelompok orang tersebut ikut pula seorang pemuda yang membuat masalah di kampungnya. Sekembalinya mereka dari hulu sungai Minar, pemuda tersebut sudah mempunyai rencana untuk berpisah dari kelompok itu, karena malu kembali ke kampungnya.

Dalam perjalannya ia mengambil posisi pada bagian belakang perahu (Ku). Selama perjalanan kembali ke kampung pemuda tersebut berpikir bagaima ia harus pergi meninggalkan sekelompok laki-laki yang di dalamnya termasuk Iparnya (Si Ha) = (Kauka paiti). Dipertengahan perjalanan ia melihat ada pohon yang tumbang di pinggir sungai yang posisinya melintang ditengah sungai. Salah satu cabang dan pohon tersebut menjulang di atas air sungai. Melihat kondisi demikian maka ia pun meloncat secara diam-diam dengan noken (etai) nya dan duduk pada cabang tersebut. Dan selama ia berada pada cabang tersebut ia melihat ada pusaran air sungai yang memunculkan daun pisang, keladi, tebu dan beberapa jenis tanaman lainnya. Janis – jenis daun tersebut membuat pemuda ini penasaran lalu ia menggantungkan Etai (noken) nya pada cabang tempat duduknya dan mencoba mencari tau dengan menyelam mengikuti pusaran air tersebut. Setelah berada di dalam laut / air sungai ia kaget kerena melihat ada dunia lain di dasar laut / sungai dan ia tidak sadar sedang duduk di atas pohon Opako / Pau (sukun). Dari atas pohon sukun pemuda tersebut mencoba mengamati keadaan sekitarnya dan melihat ada rumah yang sekarang disebut Karapau dan di depannya tertancap patung yang diukir dengan bermacam-macan jenis motif Patung ini sekarang disebut Mbitoro. Selain itu, ia melihat ada tumpukan kayu kering yang menyala hingga menjadi bara api dan di dalam api tersebut ada Siput dan Karaka (kepiting) yang sedang dibakar. Karena rasa laparnya pemuda itu, maka ia pun turun dari pohon sukun dan memakan siput dan karaka yang dibakar itu. (Menurut orang Kamoro pada jaman dahulu isi siput ada dua tetapi satunya dimakan oleh si pemuda itu, sehingga sekarang isinya hanya tinggal satu. Sedangkan Karaka /kepiting dulunya memiliki 10 (sepuluh) jari besar tetapi karena si pemuda ini makan 8 (delapan) sehingga sekarang hanya tinggal dua jari besar).

Dengan demikian maka menurut orang Kamoro, mite Mbitoro dan Karapau merupakan awal mulanya kesenian suku Kamoro diciptakan dan menurut mereka cerita ini sakral sehingga tidak boleh diceritakan kepada orang yang belum di inisiasi atau orang yang tidak bertanggung jawab dalam mempertahankan budayanya. Larangan ini merupakan norma / aturan budaya Kamoro, karena pada masa lalu cerita ini hanya boleh diceritakan kepada orang Kamoro lainnya pada saat mereka berada atau mengikuti pendidikan tradisional dalam Karapao.

 

*-----------

Patung mbitoro adalah seni adiluhung yang dimiliki suku Kamoro,salah satu suku di Papua. Patung mbitoro rata-rata memiliki tinggi di atas satu meter. Patung itu terbuat dari kayu bulat dan utuh, bahkan berdiameter sekitar satu meter. Patung itu harus dimiliki oleh sebuah karapao (rumah adat). Mbitoro berdiri tegak di depan rumah adat yang dihiasi dengan berbagai ornamen yang melambangkan kehidupan alam dan makhluk hidup. Dalam tradisi orang Kamoro, pemancangan patung itu dilakukan pada saat ritual inisiasi, yaitu proses berangkat remaja (tauri). Patung itu kemudian diisi dengan roh para leluhur mereka. Setiap patung menjadi rumah bagi para leluhurnya. Roh-roh itu harus diberi ruangan. Setelah patung selesai, lalu dilakukan pemanggilan roh dengan mantra-mantra. Biasanya yang memanggil adalah keturunannya. Mbitoro sangat penting dalam tiap upacara adat penduduk Kamoro. Patung tersebut melambangkan seorang tua berkuasa yang baru saja meninggal dunia yang bantuan dan perlindungannya kini diharapkan. Hanya pohon-pohon terpilih yang digunakan dan berbeda jenis pohonya di tiap desa. Di pesisir jenis tersebut adalahMyristica fatua dan Horsfeida irja. Motif-motif pada Patung Mbitoro menggambarkan kekerabatan dan kebersamaan di kalangan suku Kamoro. Motif-motif yang terdapat dalam satu unit Mbitoro yaitu: 1. Ruas tulang belakang (uema) 2. Awan putih berarak (uturu tani) 3. Ekor kuskus pohon (waken bipi) 4. Lidah biawak (oke-mbare) 5. Kepala manusia (upau) 6. Kepala ular (apako upau) 7. Ingsan ikan (ereka kenemu) 8. Tulang ikan (ema) 9. Tempat api atau perapian (utu-wau)


Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe

Jl. Nawaripi Dalam

085243334779

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Herman Kiripi

Jl. Nawaripi Dalam

085243334779

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047