Ulu Ambek

Tahun
2015
Nomor Registrasi
201500201
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

 Ulu ambek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang menampilkan konflik atau pertarungan secara estetis, yang bersumber dari sejenis pencak silat tanpa persentuhan fisik di antara kedua petarung (Martamin dan Amir B, 1977), tarian dengan gerakan serang menyerang yang dilakukan secara berganti-ganti di antara dua orang pesilat (Muzaharuddin, 1979; Samah et.all., 1981; Hatta, 1983; dan Mukhtar, 1990), atau tarian rakyat yang gerakan-gerakannya berasal dari silek bayang (silat bayang) yakni aliran silat yang menggunakan kekuatan magis sehingga tidak memerlukan kontak fisik secara langsung (Djamaan, 1988 dan Kamal, 1992). Pätzold (2004) menyebut ulu ambek sebagai a play of inner power. Pätzold mengatakan, Not just self defense, nor dance, nor play, but a 'Play of Inner Power', the Luambek forms a category of its own within the rich movement arts traditions of the Minangkabau people.

Imran (1997) menempatkan ulu ambek sebagai seni yang berhubungan erat dengan ajaran sufi (tasawuf). Pertunjukan silat ulu ambek secara fisik merupakan aktivitas gerak gerik silat dan tarian penyerangan dan penangkisan. Namun, secara simbolis serangan dan tangkisan itu merupakan simbol “pemberian dan penerimaan” dari seorang guru atau syeikh atau kapalo mudo kepada muridnya. Substansi pemberian dan penerimaan itu adalah pembelajaran budi dan pengetahuan spiritual.

Ulu ambek, seperti halnya Indang dan Salawat Dulang, lahir dan berkembang di Pariaman, yakni rantau pesisir barat Minangkabau yang saat ini meliputi wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Setidaknya ada empat variasi sebutan untuk pertunjukan itu pada masyarakat pemiliknya, yakni alo ambek (berasal dari kata alau (halau) dan ambek (hambat), luambek (berasal dari kata lalu (lewat) dan ambek (hambat), ulue ambek (berasal dari kata ulue (julur) dan ambek (hambat), ulu ambek (berasal dari ulu (hulu) dan ambek (hambat). Walaupun demikian, semuanya bermakna serangan dan tangkisan. Dengan kata lain, ulu ambek lebih mempertunjukkan keterampilan pertarungan dengan gerakan-gerakan menyerang dan menangkis, tanpa kontak fisik sehingga menyerupai pantomim persilatan. Gerakan-gerakan dilakukan mengikuti irama musik vokal dampeang yang dilantunkan oleh dua orang tukang dampeang. Pertarungan tersebut dipimpin oleh dua orang janang yang bertindak sebagai wasit dan diawasi oleh para ninik mamak atau penghulu nagari-nagari yang terlibat. Tempat pertunjukan adalah laga-laga yang berarti tempat berlaga, tempat bertarung, tempat menentukan kalah menang, tempat menyaksikan siapa pemenang dan siapa pecundang.

Ulu ambek  dipertunjukkan pada suatu alek nagari. Alek nagari adalah pesta atau semacam festival yang diadakan oleh sebuah nagari otonom yang melibatkan nagari-nagari lain sebagai alek atau tamu. Alek nagari diadakan dalam rangka peresmian penobatan penghulu baru atau momentum adat yang penting lainnya.

Dalam seni konflik tersebut dipertemukan dua orang dari dua komunitas petarung (perguruan silat atau nagari) berbeda sehingga konflik relatif sangat aktual. Aktualitas konflik tersebut dikuatkan oleh alasan pertaruhan harga diri masing-masing komunitas komunal (perguruan silat atau nagari) di samping risiko malu secara komunal apabila dalam pertarungan tersebut satu pihak mengalami kekalahan (buluih). Kekalahan dalam ulu ambek tersebut adalah keadaaan dipermalukan di hadapan umum sehingga sangat “melukai” hati petarung dan komunitasnya. Oleh sebab itu, seni konflik adalah sekaligus seni yang mempresentasikan manajemen konflik secara komprehensif.

Kekomprehensifan manajemen konflik yang dimaksud meliputi penentuan secara tepat ruang lingkup wilayah yang dilibatkan dalam pertunjukan, tata cara mamanggie ‘memanggil atau mengundang’ agar undangan dituruti orang, tuntutan pemenuhan undangan bertarung karena merupakan aib apabila tidak mampu memenuhi undangan atau tantangan bertarung (malu indak taturuik alek urang, indak tatampuah galanggang rami), bila tidak diundang juga mesti dipertanyakan mengapa tidak diundang, kemampuan mendudukan alek (tamu) secara pantas dan patut, penunjukan janang atau wasit secara tepat, pengawasan kepemimpinan janang, pengawasan pertunjukan secara utuh oleh ninik mamak, tata tertib dan etik permainan, dan juga tata tertib lingkungan dalam konteks pertunjukan ulu ambek tersebut.

Pertujukan ulu ambek adalah pertunjukan beradat, pertunjukan kesenian yang diklaim sebagai suntiang (mahkota) ninik mamak ata penghulu, oleh karena itu selama pertunjukan berlangsung tidak boleh ada pertunjukan lain pada saat yang sama. Selama pertunjukan berlangsung tidak dibolehkan seseorang menimbulkan kebisingan, termasuk yang ditimbulkan dari suara knalpot sepeda motor, sehingga seseorang harus menuntun sepeda motornya dalam keadaan mesin tidak hidup apabila harus melewati laga-laga tempat pertunjukan berlangsung. Di samping itu, selama beberapa hari yang telah ditetapkan untuk pertunjukan ulu ambek, semua pedagang yang berjualan di sekitar arena pertunjukan harus tunduk kepada standar harga yang ditetapkan oleh ninik mamak atau penghulu dan tidak dibolehkan menaikkan harga dagangannya tanpa izin dari ninik mamak atau penghulu tersebut.

Ada tiga citra visual yang menarik pada pertunjukan ulu ambek, yaitu bersalaman, bertarung, dan kepemimpinan janang. Pertama, ekspresi bersalaman dilakukan oleh seorang pemain kepada guru, ninik mamak, saudara seperguruan, janang, dan orang-orang yang turut serta dalam kelompok mereka. Ekspresi bersalaman dilakukan selayaknya orang yang berpamitan untuk pergi jauh dan seakan-akan tidak akan kembali.

Kedua, permainan ulu ambek dilakukan oleh dua orang laki-laki (sejauh ini tidak pernah dilakukan oleh perempuan, kecuali oleh penari-penari di ISI Padang Panjang untuk kepentingan akademik). Permainan itu layaknya pertarungan, tetapi tidak terjadi kontak fisik di antara kedua pemain sehingga Navis (1984:268) menyebutnya sebagai pantomim persilatan. Walaupun demikian, hakikatnya permainan itu adalah pertarungan tingkat tinggi dalam aliran silat yang digunakan dan memiliki konsekuensi buluih ‘bulus’ atau kalah dan mempermalukan suatu pihak. Oleh sebab itu, pertunjukan tersebut tidak bisa diselenggarakan tanpa seizin ninik mamak atau penghulu sebagai pemilik (karena ulu ambek adalah suntiang ‘mahkota’ mereka) dan tanpa janang.

Ketiga, permohonan izin ninik mamak untuk bolehnya ulu ambek dipertunjukkan disebut dalam istilah basalang (meminjam). Hal itu dilakukan oleh kapalo mudo (kepala pemuda) dalam suatu pasambahan sebelum permainan. Di samping itu, permainan tersebut dilangsungkan dalam pengawasan pangulu dari kedua belah pihak yang bertarung dan dipimpin oleh dua orang janang. Janang dituntut untuk mampu bersikap tegas dan adil. Oleh karena itu, kepada janang dibacakan sumpah sati (sumpah sakti) bahwa “apabila tidak bersikap adil, dia akan dimakan sumpah, yakni jika berbuat sawah, padinya hampa; jika beternak, ternaknya kurus; dan jika istrinya melahirkan, anaknya lahir tanpa paha sebelah”.

Ulu ambek, dengan demikian, merupakan mediasi konflik antarperguruan silat atau antar-nagari  yang ada di Padang Pariaman. Melalui ulu ambek, naluri berkonflik disalurkan, dialirkan, dialurkan, dan dikelola sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung secara estetis tanpa kontak fisik dan terhindar dari efek anarki yang sangat potensial terjadi setelah pertunjukan karena salah satu pihak buluih atau kalah dan dipermalukan.

 


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2015

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2015

Maestro Karya Budaya

Dr. Hasanuddin, M.Si

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2015
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2015

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047