Sate Kere

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101298
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

Di zaman dahulu, sate menjadi salah satu makanan termewah yang hanya bisa disantap oleh kalangan menengah ke atas. Istilah kere yang berarti gelandangan merupakan salah satu pencitraan terhadap kalangan bawah yang terlalu sayang untuk membeli setusuk sate. Atas alasan inilah para kalangan bawah melakukan intervensi. Mereka membuat bentuk lain sate dengan bahan dasar jeroan sapi yang jika dilihat, sate ini menyerupai sate pada umumnya. Cara inilah yang menjadi daya tarik bagi kalangan bawah untuk menikmati sate yang kemudian melahirkan sate kere (satenya orang miskin). Selain itu, sate ini merupakan perwujudan perlawanan dari kalangan bawah kepada kalangan bangsawan dalam budaya feodal yang zaman dahulu masih sangat kental dirasakan oleh masyarakat jawa.

Kuliner yang semula dianggap ‘murahan’ ini sempat naik daun. ‘Martabatnya’ mulai terkerek, harganya ikut menjulang tanpa mempedulikan riwayat historisnya yang pekat dengan nasib getir dan perjuangan rakyat kelas bawah. Tidak lagi dilihat dari segi bahannya yang terbilang remeh, bahkan buangan. Di masa kolonial, bahan tersebut dijauhi pembesar Eropa dan kaum bangsawan. Meja hidangan di rumah aristokrat dan tuan kulit putih jika ditemukan gembus dan jeroan adalah suatu pantangan.

Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam tulisannya berjudul Historiografi Sate Kere menulis bahwa pada zaman dahulu, di perkotaan besar di Jawa lazim ditemukan abattoir (tempat penyembelihan hewan). Bangunan didirikan pemerintah kolonial Belanda bersama penguasa lokal ini guna menjamin konsumsi kaum Eropa akan daging sapi. Demi menjaga kesehatan konsumen, pengelola abattoir pantang menjual daging bercampur gajih (gemook).

Maka, sejak 1849 ditelurkan kebijakan perihal pemotongan sapi dan kerbau lewat staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1849 no. 52 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan 18 pasal aturan dan kebijakan terkait pemotongan sapi dan kerbau. Salah satunya pasal 9 tentang regulasi larangan penjualan daging yang ditutupi gemuk atau lemak yang isinya seperti berikut :

Binatang njang dipotong, baik antero atawa potong-potongannya tiada bolee di toetoop sama gemook, tetapi misti ditinggalken begimana adanja, dan lagi tiada bolee potong binatang njang sakit, atawa djoewal dagingnja binatang njang mati...,

(Binatang yang dipotong, baik seluruh atau potong-potongannya tidak boleh ditutup sama gemook, tetapi mesti ditinggalkan bagaimana adanya, dan lagi tiada boleh potong binatang yang sakit, atau dijual dagingnya binatang yang mati....,),” demikian bunyi aturan tersebut.

Karena itulah pada zaman dulu, sate adalah makanan mahal, hanya orang-orang berduit saja yang bisa menyantapnya. Karena ingin menikmati lezatnya sate, masyarakat kelas bawah pada masa itu akhirnya membuat makanan berbahan dasar selain daging. Bahan yang mereka gunakan tempe gembus atau ampas tahu dan jeroan. Walaupun memakai bahan-bahan non-daging, cita rasanya tidak kalah dengan sate daging.

Bahwa sejatinya sate kere merupakan potret budaya tanding (counter-culture). Ia mengacu pada gaya hidup yang menyimpang dari praktik sosial yang telah mapan. Secara sosiologis budaya tanding mencerminkan konflik perkara gaya hidup kelas. Dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner rupanya dapat memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif. Pihak wong cilik yang merasa kalah dalam urusan makan, tidak lantas frustasi dan ngamuk, namun membalasnya dengan menciptakan kreasi baru.

Kini sate kere tidak lagi menjadi makanan kelas bawah. Sate yang semula merupakan cerminan dari kelas bawah untuk menyaingi sate daging kini telah menjadi makanan sate bagi semua kalangan.


Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Sate Kere Yu Rebi

Jl. Kebangkitan Nasional No.1-2 Sriwedari, Solo, Jawa Tengah

0271739839

-

Sate Kere - Mbak Tug

Jl. Arifin No.63, KepatihanKulon, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah

087836330132

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Maestro Karya Budaya

TugiyemMarimin (60 th)

Jl. Abdul Muis No.32A, KepatihanKulon, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah

0271654820

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047