Nopia Purbalingga

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101310
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

 

Nopia merupakan nama lokal khas masyarakat Purbalingga untuk menyebut kue kering yang terbuat dari adonan tepung terigu dan diisi dengan gula merah. Nopia adalah sebutan yang sudah berlaku secara turun-temurun. Sulit dilacak bagaimana nama ini pertama kali digunakan. Namun, dari cara penamaannya, nopia memliki kedekatan atau kemiripan dengan bakpia, dan lumpia –merupakan makanan khas Jogjakarta-

Nopia merupakan kue kering denganadonankulityang terbuat dari tepung terigu, vanili, margarinatauminyaknabatidansususertaisiandaricampurangula kelapa / gulamerah,susu, tepungterigu dengan berbagai perasa. Kue kering yang namanya miripdengan bakpia ini memiliki tekstur kulit mirip dengan cangkang telur yang renyah pada bagian luarnya dan berisi adonan gula merah dengan rasa bawang merah goreng pada mulanya dulu. Seiring perkembangannya, nopia memiliki berbagai varian rasa yaitu coklat, durian, nangka, pandan, bawang merah goreng, serta rasa khas gula Jawa (gula kelapa) karena permintaan masyarakat atau konsumen.

Nopia memiliki tekstur kulit mirip dengan cangkang telur; berwarna putih, tipis dan mudah pecah. Wujud nopia terdiri dua bagian, yaitu kulit dan isi. Bagian kulit nopia sangat renyah. Kulit nopia dibuat dari adonan tersendiri yang berbeda dengan bagian isi. Pada mulanya, nopia lazimnya berisi adonan gula merah dengan rasa bawang merah goreng. Seiring perkembangan pengetahuan dan selera kuliner, nopia memiliki berbagai varian rasa yaitu coklat, durian, nangka, dan pandan, serta rasa khas gula Jawa (gula kelapa) sesuai permintaan konsumen masyarakat setempat.

Nopia memiliki fungsi strategis dalam kehidupan sosial masyarakat Purbalingga. Kue kering ini biasanya digunakan sebagai sajian wajib dalam acara hajatan keluarga, kenduri, doa bersama, dan acara pertemuan lainnya. Nopia juga lazim dijadikan jajan oleh-oleh usai upacara tradisional. Selain mudah dikemas, nopia juga awet dalam suhu normal sehingga tahan lama. Itulah sebabnya nopia sering dijadikan jajan oleh-oleh.

Karakteritik yang khas dari nopia adalah pada proses pembuatannya, terutama pada tahap pemanggangan. Nopia dipanggang dengan cara ditempelkan pada permukaan bagian dalam gentong yang panas. Gentong yang digunakan terbuat dari tanah liat. Gentong yang digunakan dipesan khusus dari perajin gerabah tanah liat, dengan pola dan ukuran mengikuti kebutuhan untuk pemanggangan nopia. Proses pemanasan gentong juga unik. Cara pemansan gentong dilakukan dengan membakar kayu secara langsung pada bagian dalam. Setelah kayu terbakar sampai habis, bara dan sisa pembakaran diangkat dari dalam gentong. Proses selanjutnya adalah pembersihan bagian dinding gentong menggunakan kain yang bersih. Tahap ini dilakukan untuk memastikan tidak ada abu atau sisa pembakaran lain pada dinding gentong yang akan digunakan untuk menempelkan nopia.

Nopia khas Purbalingga telah berusia hampir satu abad. Makanan ini merupakan produk akulturasi budaya Indonesia dengan Tiongkok. Seperti jenis makanan lain yang menggunakan kata ‘pia’ pada unsur namanya yaitu lumpia dan bakpia, nopia  juga  merupakan makanan dengan menu yang dibawa oleh para pendatang Tiongkok pada abad 19. Oleh sebab itu, selain di Purbalingga nopia juga dapat ditemukan di sekitar wilayah Banyumas dan Tegal. Bahkan makanan yang bentuknya menyerupai nopia ini juga dapat ditemukan di Semarang dan Surakarta.

Berdasar penelusuran sejarah keberadaan nopia di Purbalingga diketahui bahwa kue nopia mulai diproduksi sebagai makanan khas sejak sekitar tahun 1940-an. Salah satu produsen nopia yang melegenda hingga saat ini adalah keluarga Ting Ping Siang. Pada saat itu, nopia dibuat dan dipasarkan tanpa merk dagang atau identitas produk. Saat itu, nopia juga dipasarkan tanpa kemasan. Pada mulanya nopia ini dijual oleh Ting Ping Sian dengan cara dipikul berkeliling di pasar tradisional dan seputar kompleks tempat tinggalnya. Untuk membungkus nopia, saat itu Ting Ping Siang memanfaatkan kertas koran bekas dan kertas payung. Nopia asli dibuat dengan isi original yaitu bawang goreng. Citarasa original inimasihbanyakdipertahankanparaprodusennopiahinggakini.

Pada sekitar tahun 1950-an usaha pembuatan dan pemasaran nopia diturunkan pada anaknya, Ting Lie Liang atau Sudibyo Andrianto. Pada saat itu, nopia sebagai jenis kue makanan rakyat mulai banyak diproduksi. Selain rasa bawang goreng pada bagian isinya, nopia juga dibuat dengan rasa cokelat, nanas, dan durian. Ting Lie Liang sebagai pewaris generasi kedua juga membuat variasi ukuran nopia. Pada mulanya nopia dibuat dengan ukuran sebesar telur bebek dan angsa. Kemudian, nopia dibuat dengan ukuran lebih kecil atau mini. Nopia ini disebut Mino atau mini nopia.

Nopia dalam konteks budaya lokal mengandung nilai-nilai filosofi budaya lokal. Pada proses pembuataannya yang mengutamakan kecerdikan akal budi manusia, mencerminkan nilai-nilai luhur yang setara antara tradisi Jawa (Indonesia) dan cara-cara orang Tionghoa dalam bekerja. Diperlukan kerjasama antar pekerja dalam membuat produk kuliner ini. Kerja sama dalam konteks budaya nusantara merupakan sikap sekaligus cara hidup untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau masalah.

Penggunaan bahan baku lokal seperti tepung terigu dan gula kelapa (gula Jawa), mencerminkan adanya kebijakan atau kearifan. Tidak ada monopoli bahan baku. Sementara cara pemanggangan yang sangat tradisional dan manual, mencerminkan nilai kearifan dan budaya setempat. Penggunaan tenaga kerja lokal –bukan mesin- membuktikan bahwa nopia merupakan produk kuliner lokal. Sementara itu, penggunaan bahan bakar dari dahan pelepah pohon kelapa mencerminkan etika lingkungan yang adi luhung. Bahan bakar seperti ini lebih ramah lingkungan lantaran tidak meninggalkan limbah berbahaya. Sisa pembakaran mudah terurai dalam tanah, bahkan bersifat unsur hara bagi tanaman.

Nilai budaya dan filosofi yang terkandung dalam Nopia yaitu terletak pada bahan dasar, peralatan, dan proses pembuatannya. (1) Nopia dibuat dari campuran tepung terigu, vanili, gula kelapa, dengan berbagai varian isi dan rasa. Ini mengandung nilai filosofi kearifan masyarakat Purbalingga yang ramah dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan masuknya anasir budaya luar yang dapat diselaraskan. (2) Proses pencampuran bahan dilakukan secara manual mengandung nilai filosofi bahwa pekerjaan sebaikanya dilakukan dengan ketelatenan dan keuletan sehingga menghasilkan karya yang berkualitas. (3) Peralatan yang digunakan masih sangat tradisioanl yaitu gentong atau tungku yang terbuat dari tanah liat, dan bahan bakar dari pelepah pohon kelapa. Ini mengandung nilai falsafah yang sangat adi luhung yaitu kesederhaan dan penggunaan peralatan tradisional tetap dibutuhkan di tengah modernisasi dan canggihnya peralatan hidup.

Nopia Purbalingga sebagai produk kuliner mengandung potensi untuk dikembangkan sebagai gastronomi atau pengetahuan tata boga. Identitas gastronomi merupakan kepentingan suatu daerah dalam menentukan keragaman budaya dan retorika kuliner. 


Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 20-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Hendro Gunawan

Jl. Gn. Korakan Kelurahan Kalikabong RT 5 RW 1, Kalimanah, Purbalingga

081327117770

-

Sudibyo Andrianto

Jl. A.W. Sumarno No. 10, Purbalingga Lor, Purbalingga, Jawa Tengah

0281891522

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 20-01-2022

Maestro Karya Budaya

Fitri Wahyuni, S.Pd

SMK N 1 Bojongsari, Jln. Raya Bojongsari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga

085220931949

efitri.wahyuni@gmail.com

Ikawati, S.Pd

SMK N 1 Bojongsari, Jln. Raya Bojongsari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga

081329022495

ikawati1971@gmail.com

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 20-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 20-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047