Ronggeng Gunung

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300025
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image

Ronggeng Gunung adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang terdapat di Kabupaten Ciamis, tepatnya berasal dari Kecamatan Banjarsari. Dari namanya, ronggeng gunung menunjukkan kesenian dengan peran utamanya ronggeng atau penari perempuan. Kesenian tersebut muncul dan berkembang di wilayah pegunungan. Sebagai tarian rakyat, ronggeng gunung memilki daya tarik tersendiri bagi penontonnya. Meskipun kini berkembang sebagai kegiatan hiburan, keberadaannya masih pada posisi statis diantara perkembangan kesenian lain. Padahal, ronggeng gunung merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Ciamis.

Berdasarkan keterangan dari Latif Adiwidjaja, seorang budayawan Ciamis, bahwa pada zaman dahulu, di ujung Pananjung berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Raden Anggalarang. lstri sang raja bernama Dewi Siti Samboja, yang kelak disebut Dewi Rengganis. Raden Anggalarang mendirikan sebuah kerajaan atas kehendak sendiri. Dia sengaja meminta kepada ayahnya, yaitu Prabu Haur Kuning, yang sedang memimpin kerajaan di Daerah Galuh.

Sejak awal, Prabu Haur Kuning sudah memiliki firasat yang kurang baik terhadap niat anaknya, yang ingin membangun sebuah kerajaan. Firasat itu muncul karena dia mengetahui situasi dan kondisi tempat tersebut. Lokasi untuk kerajaan anaknya berada tidak jauh dari pinggir pantai. Wilayah tersebut, apalagi di ujung Pananjung, merupakan tempat persinggahan andar-andar atau bajo. Oleh karena itu, wilayah tersebut kemudian disebut Pangandaran. Yang dikenal sebagai orang-orang jahat. Sekalipun kerajaan yang dikehendaki anaknya berdiri, diperkirakan oleh ayahnya keberadaan kerajaan tersebut tidak akan berumur lama. Raden Anggalarang tidak mengindahkan kekhawatiran ayahnya. Dia tetap bersikeras untuk mendirikan kerajaan sampai selesai. Dalam menyelesaikan pekerjaan besar tersebut, dia dibantu para pengikutnya, juga didampingi oleh Patih Kidang Pananjung dan Mama Lengser.

Apa yang dikhawatirkan Prabu Haur Kuning memang menjadi kenyataan. Tidak berapa lama setelah kerajaan itu berdiri, terjadi peperangan antara pasukan dari kerajaan pimpinan Kipatih Kidang Pananjung dan para bajo (orang jahat) yang singgah di perairan tersebut. Tampaknya pimpinan bajo begitu bersemangat dalam peperangan itu, karena mengetahui istri pimpinan musuhnya sangat cantik. Sang permaisuri raja itu bernama Dewi Siti Samboja. Dalam peperangan tersebut, para bajo berhasil melumpuhkan Kipatih Kidang Pananjung sampai mati. Kekalahan itu memaksa Raden Anggalarang untuk pergi dari tempat tersebut. Dia pun berembug dengan Mama Lengser untuk menentukan arah yang akan dituju. Mereka memutuskan untuk pergi ke tempat yang diperkirakan agak aman, yakni ke sebelah timur. Tibalah mereka di suatu tempat yang kemudian disebut Babakan, karena digunakan Raden Anggalarang untuk beristrirahat (mabak-mabak).

Beberapa hari kemudian, para bajo mencium keberadaan rombongan Raden Anggalarang di tempat yang baru disinggahi. Selanjutnya, mereka langsung menyusun kekuatan untuk menyerang rombongan Raden Anggalarang, termasuk didalamnya adalah rencana untuk memboyong sang permaisuri. Pimpinan para bajo memang sangat terpesona dan tergila-gila dengan kecantikan sang permaisuri. Mereka melanjutkan perjalanan menuju utara, dan tiba di satu daerah yang kemudian dinamakan Padon Telu. Disebut demikian karena merupakan perbatasan dari tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Parigi, Kecamatan Padaherang, dan Kecamatan Kalipucang. Di sana mereka mendapat informasi, musuhnya terus mengikuti kemana pun mereka pergi. Raden Anggalarang dan Mama Lengser berembug untuk mencari cara menyelamatkan sang permaisuri. Mereka sepakat, Dewi Siti Samboja besama Mama Lengser pergi ke utara, sedangkan Raden Anggalarang menuju selatan.

Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi Siti Samboja naik dulu ke sebuah gunung yang diperkirakan dapat melihat perjalanan sang suami, yakni Raden Anggalarang. Ketika dia melihat ke selatan, tampak suaminya sedang bertempur dengan para bajo yang sengaja terus mengejarnya. Suaminya kalah dalam pertempuran itu, dan mayatnya diarak oleh para bajo. Dewi Siti Samboja bersama Mama Lengser segera berangkat ke utara hingga sampai di pinggir sungai yang kemudian disebut Citanduy. Di situ Dewi Siti Samboja bertemu dengan tukang rakit yang dapat menyeberangkan dirinya dan Mama Lengser. Begitu sampai di seberang, mereka berpesan agar tukang rakit tidak memberi tahu mereka kepada orang lain.

Dewi Siti Samboja dan Mama Lengser kemudian berangkat lagi menuju selatan dan sampai di daerah pegunungan yang kemudian disebut Tunggilis. Karena merasa lelah dengan kesengsaraannya, Dewi Siti Samboja menangis tak henti-hentinya di sana. Oleh karena itu, tempat tersebut dinamakan Tunggilis, dari kata tangis nu geulis atau tangisan si cantik jelita. Di daerah pegunungan itu, Dewi Siti Samboja menyepi dan bertapa. Dalam keheningan, dia mendengar suara tanpa wujud. lntinya merupakan perintah agar rombongan Dewi Siti Samboja menyamar menjadi rombongan seni doger (ketuk tilu) bersama-sama dengan pemuda-pemuda setempat. Dewi Siti Samboja sendiri menjadi waranggana atau ronggengnya. Tujuan penyamaran itu tentu saja untuk menyelamatkan Dewi Siti Samboja beserta rombongannya dari kejaran para bajo. Berbulan-bulan Dewi Siti Samboja menyamar sebagai ronggeng bersama para pemuda yang ada di daerah pegunungan Kendeng. Dewi Siti Samboja pun mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis.

Pertunjukan Ronggeng Gunung Ciamis berlatar belakang layaknya sebuah diorama dari seorang Dewi Rengganis atau Dewi Siti Samboja yang melakukan strategi balas dendam atas kematian suaminya Anggalarang yang telah dibunuh oleh bajo (perompak). Strategi tersebut diterapkan dalam sebuah bentuk kesenian yang dinamakan Ronggeng Gunung.

Bentuk pertunjukan ronggeng gunung sangat mirip dengan alur kisah Dewi Samboja yang berperan sebagai Nini Bogem saat menyuguhkan tarian di depan perompak. Saat lantunan syair yang dinyanyikan Nini Bogem, para pengibing datang dan mengelilingi Nini Bogem dengan gerakan-gerakan layaknya sebuah tarian. Atribut khas yang dikenakan adalah sarung yang menutupi wajah para pengibing. Cara mengenakannya adalah dengan memegang ujung sarung dengan kedua belah tangan kemudian ditarik keatas sekitar 45° sehingga menutupi wajah pengibing. Dalam kondisi realitas masa itu, pengibing membawa berbagai macam peralatan tempur yang tertutupi oleh sarung sehingga para perompak hanya menganggap bahwa mereka adalah sebuah group kesenian biasa yang tidak berbahaya sama sekali. Sesekali para pengibing pada tempo tertentu mengucapkan hong, yaitu semacam kode tindakan yang akan mereka lakukan kepada para perompak. Tarian berbentuk lingkaran tersebut semakin lama semakin menghanyut dan memancing para perompak untuk ikut menari bersama dengan para pengibing layaknya seekor ikan yang mendekati umpan. Dan, puncaknya adalah penyerangan kepada perompak sehingga menewaskan para pelaku yang telah membunuh Anggalarang, suami Dewi Rengganis.

Beranjak dari awal mula kesenian Ronggeng Gunung, kesenian ini kemudian dikemas menjadi semacam pertunjukan resmi namun dengan tema yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik balas dendam Sang Dewi Rengganis. Pementasan Ronggeng Gunung saat pertama diperkenalkan lebih bertemakan upacara bidang pertanian, mulai dari ngaseuk, sapangjadian pare, mapag pare beukah, sawenan, mipit, dan berakhir dengan panen.

Pada awalnya, tuan rumah yang hendak mementaskan Ronggeng Gunung biasanya hanya mengundang peronggeng saja untuk sebagai tokoh utama seni Ronggeng Gunung. Para pengibing tidak perlu didatangkan oleh peronggeng sendiri karena biasanya warga yang berada di dekatlokasi pertunjukan menyediakan dengan sukarela. Saat pementasan, peronggeng menyanyikan lagu wajib terlebih dahulu, yaitu kudu turip. Waditra pengiring pun demikian halnya, Suara lengkingan tersebut sudah cukup untuk menggugah bagi yang empunya waditra untuk menuju lokasi untuk kemudian mengiringi alunan suara peronggeng. Suara melengking sang peronggeng terdengar terdengar bahkan dari kejauhan, menjadi semacam pertanda bahwa ada pertunjukan Ronggeng Gunung. Pada masa dahulu, warga yang mendengar kemudian berusaha mencari asal suara tersebut. Sesampainya di lokasi, merekapun melihat dan banyak pula yang ikut menari bersama peronggeng.

Keinginan untuk mementaskan Ronggeng Gunung kala itu didasarkan atas rasa syukur atas beberapa tahapan yang akan atau telah dilalui dalam proses pertanian. Saat panen tiba biasanya adalah masa panen pula bagi seni Ronggeng Gunung. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pula yang hendak mementaskan Ronggeng Gunung pada saat hendak mulai tandur.

Setelah pementasan selesai, sang tuan rumah, pada masa dahulu, tidak memberikan jasa dalam bentuk uang. Sebagai gantinya, tuan rumah memberikan barang-barang hasil pertanian atau kebun kepada peronggeng, seperti padi dan buah-buahan. Ada juga yang memberikan seperangkat kain atau benda lainnya yang bukan dari hasil panen atau kebun. Biasanya barang bukan hasil panen tersebut diberikan karena tema hajatan dilakukan bukan pada saat musim panen tetapi saat masa persiapan atau selama penanaman.

Beranjak pada masa perjuangan kemerdekaan, menurut salah seorang informan, bahwa kesenian Ronggeng Gunung juga menjadi salah satu alat untuk melakukan strategi intelejen. Pengibing yang menutupi bagian badan hingga wajahnya dengan sarung, disamping meneriakkan "hong'; sambil berbisik mereka bisa saling bertukar informasi mengenai pertahanan musuh atau posisi para pejuang kemerdekaan. Dapat juga menjadi sarana pertukaran senjata yang mereka bawa tanpa diketahui penjajah karena tertutupi oleh sarung yang saling mereka kenakan.

Perjalanan pertunjukan Ronggeng Gunung yang bertemakan pertanian mulai surut pada tahun 1990-an. Usungan tema baru kemudian dilakukan untuk memperoleh mbali minat penonton terhadap kesenian Ronggeng Gunung, yaitu dengan cara me gisi acara hiburan di sela-sela upacara khitahan atau perkawinan. Terna baru ini dirasa sudah memberikan angin segar bagi pelaku seni Rongeng Gunung. Walaupun demikian, selera penonton menuntut agar kesenian Ronggeng Gunung lebih atraktif untuk mengikutsertakan penonton sebagai bagian dari para pengibing inti yang seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Perkembangan kekinian membuat seni Ronggeng Gunung merubah strateginya dengan cara memasukkan penonton dari jenis kelamin perempuan untuk ikut serta bergabung bersama menari bersama dengan pengibing pria. Suasana riuh rendah, keceriaan, dan keakraban seakan menyelimuti suasana pertunjukan ronggeng gunung. Tidak hanya modifikasi itu saja yang sebagai trampilan baru ronggeng gunung namun ada beberapa tampilan lainnya sebagai upaya untuk lebih memeriahkan dan menarik para penonton untuk datang dan menikmati kesenian ronggeng gunung. Tampilan baru tersebut untuk kemudian merubah nama kesenian ronggeng gunung untuk seterusnya dinamakan menjadi seni ronggeng kaler atau ronggeng amen. Sebuah nama baru yang menginduk pada kesenian ronggeng gunung itu sendiri.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047