Kaghati

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300051
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Sulawesi Tenggara
Responsive image

Kaghati merupakan permainan layang-layang tradisional masyarakat Suku Bangsa Muna. Sulawesi Tenggara. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama kaghati kolope. Kaghati dibuat dari daun ubi yang dikeringkan lalu dianyam bersama dengan serat nanas.

Permainan layang-layang atau yang disebut dengan kaghati telah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Muna sejak empat ribu tahun yang lalu. Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan penelitian Wolfgang Bick pada tahun 1997 di Muna. Wolfgang Bick sendiri merupakan seorang Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography yang berasal dari Jerman. Dalam penelitiannya, Wolfgang Bick menemukan tulisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang dalam Gua Sugi, Desa Liangkobori. Dalam gua tersebut, tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batu dengan menggunakan tinta berwarna merah dari oker (campuran tanah liat dan getah pohon).

Penemuan Lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgang Bick telah mematahkan klaim yang menyatakan bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 lalu. Layangan yang ditemukan di China menggunakan kain parasut dan batang almunium, sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa latar belakang munculnya layang-layang kaghati merupakan manifestasi Suku Bangsa Muna terdahulu yang menyembah api. Mereka meyakini bahwa sumber api adalah matahari. Oleh karena itu, cara mereka mencapai Tuhan adalah dengan menerbangkan layang-layang kaghati selama tujuh hari. Tepat pada hari ketujuh, tali layang-layang tersebut diputus agar bisa terbang menuju langit tempat Tuhan mereka (matahari) berada. Layang-layang yang lepas tersebut dipercaya akan memberi perlindungan kepada masyarakat Suku Bangsa Muna dari siksa api neraka setelah mereka meninggal.

Dalam perkembangannya setelah agama lslam masuk ke Muna, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi. Saat ini layang-layang biasanya menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang dinaikkan sejak sore sampai pagi hari selama 7 hari 7 malam. Apabila layangan tersebut tidak lagi dapat diturunkan, maka dibuatlah suatu upacara untuk memutuskan tali layangan tersebut. Pada layangan tersebut digantungkan sesajen berupa ketupat dan makanan lainnya. Niat yang terkandung dalam upacara tersebut adalah bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik (kesialan) terbawa bersama layang-layang yang telah diputuskan. Selain itu, ada pula masyarakat yang memanfaatkannya untuk menjaga sawah atau ladang dari serangan burung dan babi hutan.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat layang-layang kaghati adalah daun kolope (ubi hutan} dan bambu rami sebagai bahan utama. Masyarakat juga menggunakan serat daun nenas hutan yang dipintai untuk benangnya. Untuk merangkai bahan layang-layang tersebut digunakan kulit bambu yang dihaluskan dan diruncingkan. Selanjutnya untuk menyeimbangkan layang-layang masyarakat melengkapinya dengan kayu yang dipotong-potong berukuran kecil. Potongan kayu tersebut dipasang pada sayap kiri dan kanan layang-layang.

Ukuran kaghati dapat mencapai 1,9 meter dan lebar 1,5 meter sehingga untuk menerbangkannya membutuhkan sumber angin yang lebih kencang dari angin biasanya. Angin yang biasa digunakan adalah angin timur yang bertiup pada bulan Juni hingga September. Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.

Pembuatan kaghati tidak mengikuti ukuran tertentu tergantung pada selera pembuatnya dan siapa yang akan memainkan layangan tersebut. Menurut bentuknya kaghati dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat daerah Muna :

• Bhangkura. Jenis ini berbentuk wajik dan merupakan jenis yang paling umum dibuat karena modelnya relatif sederhana. Panjang tiang vertikal dan horizontal seimbang (sama). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 1 /5 bagian atas tiang vertikal.

• Bhalampotu (Mantobua). Jenis ini memiliki tiang vetikal (kainere) lebih pendek dari tiang horizontal (pant). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 2/5 bagian atas kainere.

• Kasopa. Jenis ini bentuknya menyerupai bhalampotu dimana tiang vertikal lebih pendek dari tiang horizontal. Pertengahan tiang horizontal diikat pada kurang lebih 3/7 bagian atas tiang tiang vertikal.

• Wantafotu. Jen is ini memiliki ciri khas tiang vertikal lebih pendek dari tiang horizontal dengan menggunakan perbandingan 1 : 1.2. Pertengahan tiang horizontal diikat pada kurang lebih 5/9 bagian atas tiang vertikal.

• Salabanga. Jenis ini bentuknya menyerupai wajik tetapi sisi-sisinya tidak terlalu berimbang seperti pada jenis bhangkura.

• Sopi Fotu. Jenis ini memiliki bentuk yang lebih lancip pada sisi atasnya dibanding jenis bhangkura dan salabanga. Keunggulan jenis ini adalah kecepatan melayang/terbang di udara sangat tinggi.

Untuk melestarikan keberadaan Kaghati, layang-layang ini sering diikutsertakan dalam perlombaan tingkat nasional dan internasional, bahkan, pada tahun 1996 dan 1997 layang-layang kaghati mendapat penghargaan dari kalangan pecinta layang-layang sebagai layang-layang yang paling alami.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047