Tahuri

Tahun
2017
Nomor Registrasi
201700584
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Maluku
Responsive image

Masyarakat Maluku sejak dahulu kala telah mengenal dan menggunakan kulit bia (kerang) sebagai alat komunikasi adat. Di Maluku Tengah disebut Tahuri, tetapi orang Hutumuri menyebutnya Uper, sedangkan di daerah lain seperti di Pulau Marsela menyebutnya Worwonna. Orang Huaulu di Gunung Manusela menyebut tahuri dengan Huauri. Hua artinya yang pertama, yang utama; uri artinya bunyi. Jadi Tahuri (Hua uri) artinya bunyi yang pertama keluar dari permukaan bumi. Fungsi tahuri bagi masyarakat Maluku adalah sebagai tanda akan ada peristiwa yang terjadi; untuk memanggil para leluhur; menghormati para leluhur; memberi semangat; menambah keberanian, menambah kekuatan di medan perang; dilakukan upacara adat pelantikan raja, panas pela dan gandong; tanda tutup dan buka sasi; tanda perahu belayar dan meminta angin; dan musik pengiring tarian adat. Tahuri biasanya dipakai juga pada upacara-upacara adat mendirikan Baileu, mendirikan rumah, fungsinya mengiringi tari-tarian adat Maku-maku. Tahuri dipakai dalam medan perang, fungsinya memberi semangat, rasa keberanian, dan kuat di medan perang. Dalam upacara adat Angkat Pela, Panas Pela,dan Panas Gandong, Tahuri berfungsi memberi tanda kepada masyarakat dan juga roh-roh para leluhur bahwa upacara adat mulai dilaksanakan. Dalam upacara Sasi Hasil Laut dan Sasi Hasil Darat, Tahuri berfungsi sebagai tanda buka dan tutup sasi adat. Untuk pelayaran di laut, tahuri berfungsi untuk memberi tanda perahu akan berlayar dan jika dalam pelayaran tidak ada angin, Tahuri ditiup memanggil angin untuk tolak/dorong layar perahu sehingga perahu akan jalan. Ada juga tuan tanah (penguasa alam) meniup Tahuri untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur dan Tahuri juga berfungsi sebagai alat musik tradisi pengiring Tari Cakalele. Keberadaan musik tahuri negeri Hutumuri tidak terjadi begitu saja tetapi berkat ide dari Bapak Wakil Gubernur Maluku saat itu Bapak Latumahina dengan menyatakan kekagumannya atas bunyi suara kulit bia yang memperdengarkan alunan bunyi yang indah, bunyi yang merdu, dan harmoni. Di tahun 1958 Bapak Latumahina mengunjungi negeri tua Hutumuri Lounusa Besi di Gunung Maot. Bunyi kulit bia (uper) sementara ditiup, mereka membuat sirih masak sebagai sesajian permohonan/permintaan sesuatu kepada leluhur.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047