Tari Toga

Tahun
2014
Nomor Registrasi
201400091
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

Tani Toga yang artinya "Tari Larangan" adalah tari tradisional kuno Kerajaan Siguntur, kerajaan yang masih berhubungan dengan Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung dan konon masih berhubungan dengan Kerajaan Malayu Dharmasraya di zaman Hindu-Buddha. Karena masih berhubungan dengan Minangkabau dan Malayu, beberapa gerak tari ini mirip dengan tari minang dan melayu.

Menurut Pewaris Kerajaan Siguntur, Tani Toga merupakan tari resmi kerajaan sejak zaman Kerajaan Dharmasraya yang berpusat di Siguntur pada abad ke-14. Tari ini masih dipakai ketika Kerajaan Hindu-Buddha itu beralih ke Islam yang salah satu di antaranya menjadi Kerajaan Siguntur sejak abad ke-15 atau tahun 1673 dengan raja Islam pertama Sutan Abdul Jalil Sutan Syah Tuanku Bagindo Ratu.

Waktu itu Tari Toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.

Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908 dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Pemerintahan Kolonial Belanda, raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk Tari Toga, pun vakum sudah.

"Tari Toga nyaris hilang, tan itu sudah lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur kepada PadangKini.com. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu.

Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua dendang Tani Toga karena sejak tidak lagi berdendang, is sering melantunkan dendangnya ketika Batobo. Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.

"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan Tani Toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.

Tari Toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember 2007.

Syair Tari Toga berisi cerita tentang seorang laki-laki yang baik hati bernama Sutan Elok yang mati ditanduk kerbau. Si pemilik kerbau bernama Bujang Salamaik dibawa ke hadapan raja untuk diadili. Raja akhirnya mengeluarkan titah agar ia dihukum pancung, hukuman biasa di zaman Kerajaan Dharmasraya.

Mendengar hukuman itu, maka Cati Bilang Pandai, penasehat raja, yang digambarkan dengan deretan pendendang, berdendang menghibur raja. Kata Cati, kenapa kerbau yang membunuh tapi pemiliknya yang dihukum mati. Dendang yang disampaikan bersama-sama itu akhirnya menghibur raja dari kegundahannya dan mengampuni si pemilik kerbau dengan pesan agar si Bujang Salamaik tidak melakukan kesalahan lagi memelihara ternaknya. Du lu dendang dan tarinyanya sampai 7 jam dan dilakukan para pemain yang usianya di atas 40 tahun, sekarang tidak selama itu dan penarinya di pilih yang muda-muda biar gampang melatihnya.

Sebenarnya, Tari Toga dengan dendang Bujang Salamaik hanya satu dari beberapa dendang lainnya yang pernah hidup di Kerajaan Siguntur yang dilantunkan dalam Tari Toga. Sayang, hanya kisah Bujang Salamaik itu yang tersisa. Dendang lainnya, seperti Dendang Ameh, hanya diingat oleh generasi yang tinggal judulnya tanpa mengetahui isi dendangnya.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047