Seni beladiri Langga diyakini masyarakat Gorontalo diperkenalkan oleh Ju Panggola, walaupun belum ada dokumen yang menceritakan tentang asal-usul Langga. Ju Panggola diartikan dalam bahasa Gorontalo artinya orang tua. Ju Panggola seorang Awuliya yang memperluas agama Islam di Gorontalo pada abad ke-16. Ju Panggola diyakini mempunyai kesaktian yaitu mampu menghilang dan muncul ketika Gorontalo dalam keadaan darurat. Ju Ponggala selalu tampil dengan berjenggot panjang dan mengenakan jubah putih. Ju Panggola mengajarkan ilmu beladiri khususnya kepada para prajurit kerajaan disebut majulu yang dipimpin apitalau. Langga kemudian berkembang setelah penduduk juga tertarik dengan beladiri tersebut. Ju Panggola mengajarkan beladiri Langga dengan cara meneteskan air pada mata murid-muridnya. Setelah itu, sang murid akan menguasai ilmu bela diri Langga.
Langga merupakan seni beladiri tradisional masyarakat Gorontalo, seni beladiri ini tidak digunakan untuk membunuh, melainkan menjaga diri dan melumpuhkan lawan, tetapi tidak diwajibkan untuk hal-hal yang menimbulkan korban jiwa. Jika diamati gerakan langga lebih kuat dan lebih tangkas dibandingkan dengan seni beladiri lainnya seperti karate, kempo, taekwondo, dan sebagainya.
Langga merupakan sebuah tradisi berupa beladiri yang di dalamnya terdapat sebuah ritual untuk memberikan kekuatan kepada pemain Langga, yang dilakukan melalui pemanggilan lati dan pemanggilan tersebut dibuktikan dengan adanya perlengkapan ritual seperti, polutube, kemenyan, uang koin, pisau dengan gagang terlilit dengan kain merah, ayam, tiga helai kain berwarna hitam, putih, merah serta tingkah laku pemimpin Langga saat pelaksanaan Langga.
Pewarisan Langga di Gorontalo tidak harus mengikuti garis keturunan keluarga melainkan bersifat menyeluruh, akan tetapi masih merupakan keturunan Gorontalo. Tradisi Langga merupakan sebuah kekuatan yang diperoleh untuk mempertahankan diri atau membela diri dan tidak bersifat agresif atau bermaksud untuk menguasai sesuatu yang diinginkan oleh pemain Langga.
Dilaksanakannya tradisi Langga melalui proses hepasialo lo lati lo malu’o (menyatukan lati ayam dengan pemain Langga), tidak lain bertujuan untuk memperoleh kekuatan beladiri yang sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Gorontalo.
Terdapat dua jenis Langga yang dilaksanakan yaitu Langga khusus dan Langga undangan. Langga khusus merupakan jenis Langga yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat kecil (desa ataupun kecamatan) yang dilakukan sebagai hiburan atau presentasi estetis, dan yang melakukan pertarungan adalah orang-orang yang ada ditempat itu. Langga undangan adalah Langga yang dilaksanakan untuk masyarakat besar yang diikuti oleh beberapa tamoLangga yang ada disetiap wilayah Kabupaten ataupun Kota Gorontalo, untuk ditampilkan kepada para tamu besar.
Dewasa ini, seni beladiri Langga sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Gorontalo. Para generasi muda kurang tertarik untuk mempelajari beladiri Langga, mereka lebih cenderung mempelajari beladiri karate atau beladiri lainnya. Sebaliknya, para pendekar Langga sudah pada lanjut usia/tua.
Beberapa usaha untuk melestarikan beladiri Langga telah dilakukan, terutama Pemerintah Kabupaten Gorontalo dengan mengukuhkan sejumlah pengurus harian lembaga perguruan seni beladiri tradisional Langga di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Gorontalo.
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2016
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya